"Yakin nih nggak pulang lagi?" Tanyaku pada Galang yang masih duduk di balkon apartemenku sambil menikmati semilir angin malam yang syahdu. Aku membawakannya wine untuk gelas ketiganya karena merasa ia masih bertahan di kursi santainya itu.
"Sudah hampir pagi loh, nanti istrimu nyariin," ujarku lagi. Dia tersenyum dengan menyunggingkan separuh bibirnya saja. Membuang abu rokok yang masih menempel di rokoknya sejenak dan menghisapnya dalam-dalam.
"Di rumah aku tak bisa jadi diriku sendiri, sedangkan disini inilah aku apa adanya," ia menghembuskan asap rokoknya dengan membentuk bibirnya sehingga terciptalah kepulan asap berbentuk cincin dan melambung ke udara pudar oleh keadaan. Ah mungkin asap itu seperti aku. Samar, dan akan pudar oleh keadaan.
"Kenapa kau sangat mengerti aku dan istriku tidak?" Ia bertanya begitu. Ah itu adalah pertanyaannya yang ke seratus. Biasanya aku menjawab dengan kalimat karena aku mencintainya. Aku tak bohong aku memang mencintainya. Tapi kali ini aku diam sembari tersenyum. Aku memang mencintainya. Cinta. Ah sekali lagi aku memang mencintainya.
Jadi terserah ia mau hidup seperti apa. Asal dia senang iya kan? Ya iya lah kalau dia senang kan nempel aku terus.
"Kenapa tersenyum begitu?" Ia mendekatiku. Membelai rambutku dan mencium pipiku.
"Tempat ini benar-benar nyaman," ucapnya sambil memelukku dari belakang.
"Sudahlah kau pulang saja, masih ada besok, aku tidak mau istrimu mencariku dan mengumbar di medsos seperti yang banyak viral sekarang,"ungkapku sambil melepas pelukannya.
"Itu tidak mungkin..." jawabnya sambil mencolek hidungku.
Ia terdiam dan bangkit "Ya sudah aku pulang kau tak mau menghadiahiku sesuatu?" Tanyanya dengan mata nakal.
Aku mencium dan melumat bibirnya dengan lembut.
"Thanks ya Han... you are the only one i wish,"
"Hah istri dan anak-anakmu mau dikemanain?"
"Ya ditinggal di rumah lah...."jawabnya sambil tertawa.
Dan aku tahu. Aku hanyalah asap rokoknya yang ia suka namun akan lenyap. Aku tahu tapi cinta membutakanku. Aku juga menikmati jalan cinta ini. Biarlah kami sudah hina pada dosa.
Dia ku bantu memakai jasnya. Merapikan dasinya. Menyisir rambutnya dan memakaikan sepatunya.
"Istriku tak pernah melakukan ini, tapi kau selalu mau, aku menjadi raja saat bersamamu."
Aku tersenyum, "Apa perlu ku ajari istrimu begini?"
"Kalau kau mau?"
Sekali lagi aku tersenyum getir.
Tapi ia menarik daguku dan menciumku lagi. Ah aku jadi lupa senyum getirku ini. Dia suka begitu. Suka jahil juga dan aku selalu ketagihan oleh kejahilannya itu.
"Memangnya kau tak pernah begini pada istrimu?"
"Hah.. Dia itu banyak aturan, tak bebas kayak kamu." Ia mencium punggung tanganku. Ah kalau begini terus dia pasti tak pulang-pulang.
"Bahkan di sini tak ada aturan untuk berpakaian," ia tertawa mengingat saat kami seenaknya tanpa busana.
"Di rumah mana bisa," aku tertawa. Ia kembali memelukku.
Sepertinya ia benar-benar enggan untuk pulang. Ia malah kini asik memainkan apa saja yang ia suka. "Aku milikmu...."
Dan malam pun menjelma menjadi pagi.
Dugdugdug
Eh salah maksudku
DAAAAR DAR DARRRR
Suara pintu apartemenku yang digedor paksa.
Aku mengerjapkan mataku. Ah benar pagi telah datang.
"Maaaasssss," aku segera berpakaian dan bergegas keluar membukakan pintu.
Seorang wanita cantik dengan rambut pendek seleher muncul di depan pintu ia masih bersweater tebal. Wajahnya tetap cantik meskipun semalaman ia bekerja. Hanya matanya yang tampak hampir terpejam karena menahan kantuk. Untung saja masih bisa menyetir mobilnya sendiri. Ia wanita yang sangat mandiri.
"Aku ngantuk banget...." ucapnya yang sudah aku hafal dari dulu. Ia menubrukku langsung dan aku memapahnya ke kamar utama kami.
"Temanmu nginap di sini lagi ya Mas?" Tanyanya saat aku baringkan dia di kasur.
"Iya, masih tidur kayaknya di kamar tamu," jawabku sambil membantunya melepas sweater hangatnya.
"Kenapa hobinya bertengkar dengan istrinya, tidak seperti kita ya?" Aku tersenyum dan mencium keningnya. Ia tertidur.
Aku membuatkan sarapan saat dua cintaku sedang tertidur di kamarnya masing-masing. Dan secangkir teh dengan dua sendok gula. Bukankah ini manis sekali?
#ruangmenulis
#tantangansenin
#selingkuh
Puing
24.02.18
Sekeping Hati Puing
Minggu, 25 Februari 2018
Minggu, 18 Februari 2018
Langitku
Apa kabar langit?
Apa kau masih secerah dulu? Atau kini kau mendung karena kehilanganku. Ah bodohnya. Itu tidak mungkin, iya kan? Tidak mungkin kau jadi mendung hanya karena aku. Apalah aku ini. Hanya puing-puing sisa reruntuhan tembok Berlin.
Langit tampak menengadah menatap langit biru. Deburan ombak dan angin dermaga menerpanya. Jangan bohongi aku dengan berlagak sok setegar karang. Aku tahu kau rapuh.
"Kenapa?" bisiknya dan ia menunduk. Tuhkan aku tahu kau tak setegar karang. Aku tahu kau sangat rapuh. Bahkan kau lebih rapuh dari daun kering yang tertiup angin. Tidak hanya mudah patah kau itu mudah remuk.
Aku masih menemaninya di situ. Membiarkan ia berdiri mematung menyesali nasib. Mau apa lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Sekeras apapun kau berteriak cintamu telah pergi. Dan kau terlambat Langitku yang gagah. Kau telah terlambat untuk selamanya. Salahmu sendiri. Salahmu sendiri ku ulangi.
"Harusnya aku memperlakukanmu dengan lebih baik," bisiknya dan kini ia duduk di lantai dermaga yang mulai panas oleh garangnya sinar matahari siang ini.
"Iya, harusnya," aku tersenyum puas. Hah tapi apa gunanya sesalmu itu.
"Harusnya aku selalu ada untukmu, mendengarkanmu, bahkan aku tak tahu secepat ini kau pergi," dia tertunduk lagi. Hei dasar bodoh. Kau pikir dengan menyesal begitu yang kau sebut cintamu itu akan kembali hah? Lagi pula kau pikir aku tak hafal sifatmu. Kau akan lupa dan cari pacar lagi iya kan? Kau pikir aku bodoh.
"Aku bodoh Rin aku yang bodoh," dia berucap sambil menyebut namaku. Aku tertawa mendengarnya membodoh-bodohkan diri sendiri. Kau memang bodoh Langitku sayang. Upst kenapa aku menyebutnya sayang. Ah biar saja. Toh dia juga tak akan mendengarku.
"Aku ikut kamu saja Rin," ucapnya lagi. Aku masih saja menertawakannya.
"Tidak ada gunanya lagi aku di sini, aku ikut kamu, ajak aku Rin," kali ini aku menoleh ke arahnya yang sedari tadi bicara sendiri macam laki-laki yang ditinggal mati isterinya saja.
"Kalau kamu tak mau mengajakku aku yang akan menyusulmu," ia membuka sebuah botol di tangannya. Aku terbelalak. Ada gambar tengkorak di botol itu.
Hei... jangan Langit ku mohon jangan. Jangan lakukan itu bodoh. Bodoh Langit aku mohon jangan. Jangan lakukan itu. Tolong ah siapa yang akan mendengarku. Langit please jangan. Jangan mati. Jangan. Kita tidak akan bersatu hanya karena kematian. Takdir kita memang tidak bersama. Jangan Langit. Jangan.
Tapi ia telah meneguknya. Tubuhnya mengerang kesakitan. Otot-otot dilehernya menegang kuat dengan warna biru yang mulai menyelimuti kulitnya. Aku yakin itu sakit sekali. Hingga ia memuntahkan darah dan mengalir pula darah dari hidung dan telinganya.
Langitku...
Sosok hitam muncul di sampingnya. Membangkitkan ruhnya dengan sekali seret dengan sangat kejam. Sosok itu menatapku. "Ajak aku!" Teriakku tapi ia hanya menyeret ruh Langit yang masih kesakitan. Meninggalkan seonggok tubuh yang sudah tak bernyawa.
Aku tertunduk. Hah bodohnya dia. Aku sudah tak bisa lagi menikmati wajahnya. Menemaninya di dermaga ini mengenangku. Padahal aku telah menukar segalanya demi diberi kesempatan bisa melihatnya. Tapi apa yang aku lihat. Kematiannya. Mengapa ini begitu menyakitkan. Apa karena pikiran kita yang picik pada takdir.
Langitku.. kali ini aku benar-benar mengucapkan selamat tinggal. Karena kehidupan maupun kematian sama-sama tak bisa menyatukan kita.
Puing
19.02.2018
#ruangmenulis
Apa kau masih secerah dulu? Atau kini kau mendung karena kehilanganku. Ah bodohnya. Itu tidak mungkin, iya kan? Tidak mungkin kau jadi mendung hanya karena aku. Apalah aku ini. Hanya puing-puing sisa reruntuhan tembok Berlin.
Langit tampak menengadah menatap langit biru. Deburan ombak dan angin dermaga menerpanya. Jangan bohongi aku dengan berlagak sok setegar karang. Aku tahu kau rapuh.
"Kenapa?" bisiknya dan ia menunduk. Tuhkan aku tahu kau tak setegar karang. Aku tahu kau sangat rapuh. Bahkan kau lebih rapuh dari daun kering yang tertiup angin. Tidak hanya mudah patah kau itu mudah remuk.
Aku masih menemaninya di situ. Membiarkan ia berdiri mematung menyesali nasib. Mau apa lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Sekeras apapun kau berteriak cintamu telah pergi. Dan kau terlambat Langitku yang gagah. Kau telah terlambat untuk selamanya. Salahmu sendiri. Salahmu sendiri ku ulangi.
"Harusnya aku memperlakukanmu dengan lebih baik," bisiknya dan kini ia duduk di lantai dermaga yang mulai panas oleh garangnya sinar matahari siang ini.
"Iya, harusnya," aku tersenyum puas. Hah tapi apa gunanya sesalmu itu.
"Harusnya aku selalu ada untukmu, mendengarkanmu, bahkan aku tak tahu secepat ini kau pergi," dia tertunduk lagi. Hei dasar bodoh. Kau pikir dengan menyesal begitu yang kau sebut cintamu itu akan kembali hah? Lagi pula kau pikir aku tak hafal sifatmu. Kau akan lupa dan cari pacar lagi iya kan? Kau pikir aku bodoh.
"Aku bodoh Rin aku yang bodoh," dia berucap sambil menyebut namaku. Aku tertawa mendengarnya membodoh-bodohkan diri sendiri. Kau memang bodoh Langitku sayang. Upst kenapa aku menyebutnya sayang. Ah biar saja. Toh dia juga tak akan mendengarku.
"Aku ikut kamu saja Rin," ucapnya lagi. Aku masih saja menertawakannya.
"Tidak ada gunanya lagi aku di sini, aku ikut kamu, ajak aku Rin," kali ini aku menoleh ke arahnya yang sedari tadi bicara sendiri macam laki-laki yang ditinggal mati isterinya saja.
"Kalau kamu tak mau mengajakku aku yang akan menyusulmu," ia membuka sebuah botol di tangannya. Aku terbelalak. Ada gambar tengkorak di botol itu.
Hei... jangan Langit ku mohon jangan. Jangan lakukan itu bodoh. Bodoh Langit aku mohon jangan. Jangan lakukan itu. Tolong ah siapa yang akan mendengarku. Langit please jangan. Jangan mati. Jangan. Kita tidak akan bersatu hanya karena kematian. Takdir kita memang tidak bersama. Jangan Langit. Jangan.
Tapi ia telah meneguknya. Tubuhnya mengerang kesakitan. Otot-otot dilehernya menegang kuat dengan warna biru yang mulai menyelimuti kulitnya. Aku yakin itu sakit sekali. Hingga ia memuntahkan darah dan mengalir pula darah dari hidung dan telinganya.
Langitku...
Sosok hitam muncul di sampingnya. Membangkitkan ruhnya dengan sekali seret dengan sangat kejam. Sosok itu menatapku. "Ajak aku!" Teriakku tapi ia hanya menyeret ruh Langit yang masih kesakitan. Meninggalkan seonggok tubuh yang sudah tak bernyawa.
Aku tertunduk. Hah bodohnya dia. Aku sudah tak bisa lagi menikmati wajahnya. Menemaninya di dermaga ini mengenangku. Padahal aku telah menukar segalanya demi diberi kesempatan bisa melihatnya. Tapi apa yang aku lihat. Kematiannya. Mengapa ini begitu menyakitkan. Apa karena pikiran kita yang picik pada takdir.
Langitku.. kali ini aku benar-benar mengucapkan selamat tinggal. Karena kehidupan maupun kematian sama-sama tak bisa menyatukan kita.
Puing
19.02.2018
#ruangmenulis
Selasa, 10 Oktober 2017
STOP HOAX, SAVE THE TRUTH
STOP HOAX, SAVE THE TRUTH
ANTI HOAX SANG PENDIDIK
Oleh : Widya
Sulistia, S.Pd
Sebagai pembaca tentu kita
selalu menikmati bacaan-bacaan baik di media elektronik maupun media cetak.
Tidak jarang pula kita mendapati berita-berita yang membuat kita bertanya-tanya
apakah berita ini sudah benar atau hoax. Pemberitaan palsu atau lebih sering
disebut hoax merupakan informasi yang tidak benar tetapi dibuat seolah-olah
benar. Berita-berita hoax mendadak muncul dan viral di media sosial. Berita-berita
hoax pun sangat mengganggu dan meresahkan publik dengan informasi yang tidak
bisa dipastikan kebenarannya.
Namun sebenarnya kita bisa
mengidentifikasi apakah berita itu hoax atau fakta. Berikut cara atau
identifikasi berita hoax. Pertama, Hoax biasanya menggunakan kata-kata yang
provokatif sehingga menggugah pembaca untuk membaca, mempercayai dan ikut
menyebarkan. Kedua, Berita hoax juga menggunakan kata yang sensasional
menggugah emosi dan perasaan pembaca secara berlebihan. Yang ketiga berita hoax
biasanya menggunakan judul yang sama pada setiap artikel dan disertai komentar
yang memantapkan. Penulis berita hoax juga tidak ragu untuk menyebutkan lembaga
tertentu yang seolah sebagai penguat berita tersebut. Padahal tidak.
Hoax
tentusaja memberikan pengaruh-pengaruh negatif dalam kehidupan bermasyarakat.
Antara lain :
1. Hoax
menyebabkan fitnah
Berita yang tidak ada kebenarannya dapat menimbulkan
fitnah pada topik yang diberitakan tersebut. Tentu saja sangat menggagu.
Penyebaran hoax seakan penyebaran fitnah yang bisa meluas ke seluruh lapisan
masyarakat.
2. Memicu
keraguan pada produk atau topik yang diberitakan
Masyarakat yang membaca berita hoax akan timbul
perasaan tidak percaya pada topik atau produk yang dibahas dalam berita hoax.
Ketidakpercayaan masyarakat menimbulkan kerugian produk atau instansi yang
dihoaxkan. Hal ini sebaiknya segera disikapi dengan klarifikasi langsung dari
pihak yang diberitakan hoax. Sehingga keraguan masyarakat tidak berlebihan.
3. Hoax membodohkan
Berita hoax
yang diakses secara langsung atau dipraktikkan oleh pembaca sangat membodohkan.
Pembaca sebenarnya dibodohi dengan kabar hoax
bahaya suatu makanan sampai pembaca tidak mau memakan makanan itu padahal
nyatanya tidak apa-apa. Yang lebih berbahaya lagi. Berita hoax mengenai obat
tertentu bisa menyembuhkan nyatanya tidak. Hal itu sangat merugikan masyarakat
sebagi pembaca. Pembodohan juga dapat terjadi pada siswa yang membaca berita
hoax mengenai materi pelajaran atau informaai politik. Berita hoax tersebut dapat
menggiring opini ke dalam pembodohan publik.
Masyarakat
sebaiknya waspada dan memilah berita dengan tepat. Bagi masyarakat antisipasi
mengecek kebenaran berita sangat diperlukan. Masyarakat harus jeli dan segera
mencari kebenaran terhadap berita hoax tersebut. Apalagi masyarakat yang juga
berperan sebagai orang tua. Orang tua merupakan cermin untuk anak-anaknya. Jika
orang tua percaya pada hoax sudah tentu anak-anak juga akan mempercayainya.
Karena itu sebagai orang tua tidak boleh langsung percaya pada berita-berita
yang tersebar di dunia maya. Menelaah sumber dan mencari informasi lain bisa
menjadi alternatif supaya kita tidak terpengaruh berita hoax.
Di dunia pendidikan, siswa
yang aktif di dunia sosial media dan masih labil dapat menjadi korban utama
berita hoax. Mereka
biasa menerima dan membaca berita dari media sosial yang tentu saja belum
terjamin kebenarannya. Karena
itu perlu bimbingan dan pantauan dari orang tua maupun guru supaya siswa tidak
mudah terpengaruh atau sampai ikut menyebarkan berita hoax. Setiap menerima berita dari
media sosial siswa biasanya langsung percaya dan bahkan cenderung membagikannya
kepada teman-temannya. Mereka belum tahu bahwa penyebaran berita hoax tentu
dapat menjerat mereka dalam pelanggaran Undang-Undang ITE. Memberi pengertian
kepada siswa dan remaja pada umumnya menjadi cara paling sederhana sehingga
mereka tidak lagi mudah menyebarkan berita yang mereka baca di media sosial. Adapapun cara mengedukasi siswa secara khusus dapat dipaparkan antara lain :
1. Siswa diberi
penjelasan bahwa jangan mudah percaya pada pemberitaan yang muncul di media
sosial karena belum pasti kebenarannya. Dengan penjelasan
dari guru siswa akan lebih memilah mana berita yang sekiranya tidak mengandung
hoax dan mana berita yang hoax.
2. Siswa diminta
untuk tidak menerima mentah-mentah berita tersebut atau menyebarkan berita
tersebut. Cara
ini siswa dapat mengecek berita tersebut ke sumber berita lain misal di media
televisi atau di media cetak. Dengan mendapat berita lain siswa bisa mengidentifikasi
sendiri kebenaran berita yang diterimanya.
3. Siswa dapat
berkonsultasi dulu pada guru atau orang tua untuk menanyakan kebenaran berita
yang ada di sosial media tersebut. Dengan berkonsultasi guru dan orang tua juga bisa
mengontrol berita apa saja yang diterima siswa.
Di sini penulis juga pernah
mendapat berita hoax mengenai vaksin dapat menyebabkan autisme.. Saat itu banyak tulisan dari anti vaksin yang seolah
melarang masyarakat untuk melakukan vaksin karena vaksin menyebabkan autis. Padahal pemerintah menghimbau semua anak-anak bahkan dewasa
yang memerlukan vaksin untuk melaksanakan vaksin. Terutama imunisasi empat dasar bagi bayi usia 1 – 24 bulan. Dan juga
vaksin MR untuk usia 9 – 15 tahun. Akan tetapi berita hoax itu menyebar dengan
cepat menimbulkan ketakutan bagi pembaca dan masyarakat secara umum. Padahal
kenyataannya vaksin sudah dilakukan dari zaman dahulu. Dan tidak terbukti
vaksin menimbiulkan autisme. Jadi jangan langsung percaya pada suatu berita.
Mungkin niat para pembuat hoax hanya mewujudkan kebingungan pada masyarakat.
Pengalaman tersebut memberi
pelajaran bahwa berita hoax sangat
berbahaya namun sebenarnya mudah untuk menghentikan berita hoax tersebut. Yaitu dengan menghentikan penyebaran dan tidak ikut
untuk menyebarkan. Dengan memotong mata rantai penyebaran berita hoax, maka berita itu akan terhenti
dengan sendirinya. Berita hoax akan berhenti dengan sendirinya
berhenti karena memang
tidak ada bukti yang menguatkan berita hoax
tersebut.
Lebih-lebih apabila pihak yang diberitakan hoax
memberikan konfirmasi secara resmi dan menyeluruh sehingga masyarakat lebih
yakin dan percaya pada konfirmasi yang lebih meyakinkan.
Sebagai pendidik kita sebaiknya
selalu mengedukasi jangan sampai orang-orang di sekitar kita ikut percaya dan
menyebarkan berita hoax. Pengarahan yang tepat kepada siswa maupun orang-orang
di sekitar kita bahwa jangan mudah terpancing berita-berita yang sekiranya
menyulut emosi maupun tips kesehatan yang belum juga tepat kebenarannya.
Berita hoax sangat berbahaya. Tetapi kita dapat menghindari, menutup, atau
bahkan menghapus berita tersebut supaya tidak menambah korban penyebaran berita
hoax. Pastikan berita yang kita baca
dari sumber yang terpercaya, akurat, dan bisa dibuktikan kebenarannya. Kita
juga bisa memastikan dengan mencari berita dari sumber lain. Cara ini dapat
memastikan bahwa tidak hanya satu media yang membicarakan berita tersebut
tentunya dengan judul yang berbeda.
Mari kita tingkatkan
kewaspadaan kita terhadap berita hoax
atau pemberitaan palsu mengenai hal apa saja. Pastikan terlebih dahulu
kebenaran suatu berita yang kita baca sebelum menyebarkannya. Stop Hoax, Save The Truth.
#antihoax
#marimas
#pgrijateng
Selasa, 26 September 2017
MIF DAN LAEL
#smansamenulisbatch3
MIF DAN LAEL
Hari itu langit mendung, awan hitam berarak dengan angin
tipis yang dingin. Lael masih terpaku di balkon penginapan itu. Ingatannya
masih terbawa dengan pertemuannya siang tadi.
“Lael,” sapanya canggung. Lael menoleh dan dilihatnya
seseorang yang telah lama mengisi angannya tapi tak mampu tampak di matanya.
Lael menyunggingkan sedikit senyum yang tak kalah canggung.
“Kita bertemu lagi ya, sudah sepuluh tahun sepertinya.”
Ungkap lelaki itu sembari menatap pelataran taman wisma penginapan kegiatan
diklat itu.
“Kau peserta?” tanyanya lagi pada Lael dengan cara yang
sudah lebih relaks dari pada sebelumnya.
“Iya,” jawab Lael pendek, “kau juga?” tanya Lael balik.
“Enggaklah, masa aku peserta,” jawabnya dengan nada sombong.
Hemmm... Lael mendengus dan memalingkan mukanya. Ia beranjak
menjinjing tas ranselnya menuju tangga yang akan membawanya ke kamarnya.
Laki-laki itu tak sedikit pun berubah.
“Hei, kau peserta kan, aku mentor loh, aku bakalan jadi
gurumu,” teriak lelaki itu seolah tak tahu malu dia. Ahh Lael tak
menggubrisnya. Dia memang tak pernah berubah.
Lael tersenyum sendiri di atas balkon. Sudah gila aku,
pikirnya. Bagaimana bisa bertemu dengan makhluk astral itu lagi setelah hampir
sepuluh tahun menghilang. Dan lagi, bagaimana bisa ia tetap congkak. Laki-laki
macam apa dia.
Lael menahan senyum sekali lagi. Ia berkemas untuk memasuki
kelas sesi pertama ini. Ia berjalan bersama kenangannya. Ahh laki-laki itu
masih saja manuingi mimpinya. Kadang Lael berfikir, masih sendirikah ia.
Bodohnya, demi mengejar cita-cita bahkan perempuan secantik Lael masih saja
melajang. Ahh bukan pasti gara-gara ia menyimpan cintanya sedari dulu hingga
tak bisa membuka hati apada lelaki lain. Jangan-jangan dia sudah berkeluarga.
Lael berprasangka lagi. Sudah-sudah lupakan.
Ia memasuki sebuah ruangan ber ac yang dingin. Kaca-kaca
putih tampak menerangi ruangan itu.
“Selamat siang sodara-sodara mentor!” sapanya penuh percaya
diri. “Saya sebagai ketua penyelenggara diklat ini menyampaikan selamat datang
dan selamat bertugas dalam membimbing peserta diklat selama dua minggu ini.”
Lanjutnya.
Dan di barisan tempat duduk belakang duduklah seorang lelaki
mentor yang dari tadi tercengan sampai akhirnya ia menutup wajahnya karena
malu. “Bagaimana bisa aku menyombongkan diri sebagai mentor sementara dia
menjadi ketua penyelenggara ini,” bodoh sekali aku. Ia menelungkupkan wajahnya.
Dan Lael tersenyum melihat tingkah polah lelaki yang ia cintai di dalam hati
sejak dulu.
Ah, cinta. Bagaimana pun tingkahmu, tak membuat rasa cintaku
berkurang, sedikit pun.
Puing
27.09.2017
Rabu, 20 September 2017
Setiap Melihat Bulan
smansamenulisbatch3
Setiap melihat Bulan,
Aku selalu teringat kamu….”
:
aku hanya
ingin melaluinya denganmu
Selamat malam isteriku tercinta,
Sedang apakau
di sana?
bahagiakah?
Aku sedang memandangi Bulan malam ini, yang tetap benderang sekalipun lelap. Aku melihat wajahnya yang ayu, pipinya yang tembam,
bibirnya yang mungil, kulitnya
yang putih.
Bulan sedang bermimpi, Sayang, aku tak tahu apa mimpinya, tapi ku yakin indah karena bibirnya yang manis itu menyunggingkan senyum sekali pun ia tertidur.
Sayang, usia Bulan kini sudah tujuhtahun, sudah masuk sekolah dia. Andai kau masih di sini mungkin kau yang mengajarnya di
sekolah, ah tidak, mana mau kau mengajar anakmu sendiri. Tapi kau yang akanmengajarinya
di rumah, membimbingnya menulis,
membaca, hehm, membayangkan saja aku suda senang.
Tapi paling tidak ia tak perlu memiliki rambut pendek, aku yakin kau akan dengan sabar setiap pagi membentuk berbagai gaya rambut sesuai permintaannya.
Tapi maaf Sayang, aku tak pandai memperindah mahkotanya, hingga aku tak pernah membiarkan rambutnya panjang tergerai, aku selalu bilang dengan rambut pendek ia akan lebih cantik, padahal aku bohong.
Dan lagi Sayang, maaf juga karena aku tak pernah mengantarnya sekolah atau menjemputnya, kecuali setiap sabtu, kau tahu kan aku libur hari sabtu. Neneknya yang
mengantar dan menjemputnya, tapi terkadang ia pulang sendiri dengan teman-temannya. Ia pemberani kau tahu, ia sangat pemberani, tidak seperti kau yang tidak mandiri dan manja.
Eeehh Sayang,
jangan marah,
memang kau begitukan?
Iya iya kau juga pemberani dan wanita tangguh, tapi Bulanku ini jauh lebih tangguh.
Ia tidak akan meminta bantuan orang atau menangis ketika sepedanya gembes dan ia harus menuntun sepedanya sampai rumah, hayo berbedakan denganmu? Kau pasti akan meninggalkan sepeda itu dan pulang minta dijemput.
Jangan mencubitku, akui saja manjamu itu.
Tapi Bulan juga terkadang manja, ia paling suka didongengi sebelum tidur. Aku yakin cintanya pada dunia khayal itu terturun dari sifatmu.
Oh ya, Bulan sudah pandai membaca, hebatkan dia?
ah, jangan pe de kau Sayang, kau bilang kau yang mengajarinya atau itu menurun dari sifatmu? Iya deh memang ia ikut pintar sepertimu, tapi aku yang mengajari dia, jangan menyangkal.
Dan karena ia sudah pintar membaca ia mulai bertanya-tanya tentang buku-buku karyamu, hanya saja aku tak mengizinkannya membaca. Bukankah cinta untuknya adalah keluarga dan teman. Karena itu belum pantas jika ia mengenal cinta dengan sudut pandang seperti yang sering kau ajarkan di buku-bukumu
itu.
Sekali pun, aku janji, pada waktunya nanti Bulan harus membacanya. Karena ia harus tahu eksistensi cinta itu seperti apa.
Ku kibaskan kipas kecil sekedar untuk mengusir nyamuk barang kali ada. Rambutnya lurus dan halus, seperti rambutmu. Hidungnya seperti hidungku, matanya juga seperti mataku, tapi bibirnya persis bibirmu, dagunya juga.
Bulan, aku yakin jika dewasa nanti ia akan secantik engkau, Sayang.
Kau rindu tidak dengannya?
Eits, jangan berwajah murung dong, aku cuma bercanda. Aku yakin kau pasti sangat merindukannya.
Sayang, tujuh tahun telah berlalu, Bulan telah tumbuh menjadi gadis kecil periang, pemberani, dan cantik.
Hanya saja setiap kali melihatnya aku pasti ingin menangis karena mengingatmu, maaf Sayang aku katakan ini, Jangan geer karena cintaku. Tapi karena anak sekecil Bulan sudah kau tinggalkan, jahat kau.
Sebenarnya sih, karena rinduku juga. Aku terlampau mencintaimu sampai aku enggan memberikan ibu baru buat Bulan. Sekalipun banyak yang memenuhi syarat tapi mereka selalu tak punya syarat yang kau miliki, membuatku jatuh cinta.
Sayang, Bulan tak pernah meminta ku supaya ia memiliki ibu baru. Ia hanya memintaku sebulan sekali aku mengantarnya menemuimu. Aku setuju dan aku bisa meluangkan waktu. Ia bahagia sekali. Kau lihat sendiri kan Sayang bagaimana cerianya dia. Dia selalu membawa apa yang ingin ia pamer kan padamu.
Ia bilang,
“Ayah, Bunda pasti senang lihat Bulan bawa gambar ini,”
Ia tak lupa membungkusnya dengan plastik supaya tak hancur oleh hujan.
Ia akan marah jika aku lupa mengantarnya menemuimu. Ia akan mengadu pada neneknya, ah dia lucu sekali.
Tiap kali kita bersama, meskipun sebulan sekali. Tiap itu pula aku jatuh cinta padamu. Sekalipun tak ku ucapkan dan hanya hatiku yang bicara. Aku jatuh cinta, selalu, tapi mana kau akan mengerti dan kembali padaku.
Sayang, besok aku akan menemuimu. Besok kita bertemu, dan malam ini aku merasa sangat sangat dan sangat merindukanmu.
Aku rindu ketika dulu kau selalu hangat menimang Bulanmu yang cantik ini. Kau tahu apa yang sudah Bulan siapkan untukmu, gambar, gambar kita, aku kamu dan Bulan. Ia sudah bisa menggambarnya secara bagus menurutku. Tak hanya garis dan lingkaran seperti dulu, ia juga sudah pandai mewarnai baju yang kita kenakan di gambar itu. Satu hal yang tadi ia katakana sebelum tidur, yang membuat mataku berkaca-kaca.
“Ayah, karena kita tidak punya foto keluarga, biar gambar ini yang jadi gantinya ya Yah…”
Suara manjanya itu membuataku memeluknya. Sayang, andaikan kau di sini, sekali saja berfotolah bersama. Tapi itu tidak mungkin, kau pasti tak mau iya kan?
Jangan menyesali kenyataan Sayang, aku juga tak menyesali keadaan ini kok, tidak apa-apa.
hei, jangan menunduk begitu, lanjutkan membaca suratku ini.
Maaf ya,
karena aku hanya mampu mengutarakan perasaanku ini lewat tulisan. Aku bakan tak bias mengucapkannya, bibirku kelu tiap kali melihat Bulan bicara denganmu, mengutarakan kerinduaannya, ingin kau peluk, atau apalah. Sifat manjanya akan kambuh tiap kali bertemu denganmu.
Sayang, ibu selalu menyuruhku mencari ibu baru buat Bulan dan aku selalu menolak. Begitu
pula Bulan. Kau tak marah kan pada keras kepalanya kami? Kau juga tak akan memaksaku untuk menikah lagikan?
Aku tidak ingin, sayang.
Bagiku hanya kau, sampai akhir hidup ku nanti, bahkan di surge kelak, hanya kau.
Kali ini ku rapatkan selimut Bulan. Biar hangat ia merasa, biar tak kedinginan ia, sekalipun jauh dari dekapanmu.
Aku yakin kau senantiasa mendoakannya sekalipun kau tak memeluknya. Aku yakin kau selalu berharap ia menjadi wanita yang hebat suatu saat nanti. Ini janjiku saying. Bulanmu ini adalah penerang ketika gelap.
Sekali pun ia hanya batuan sederhana tapi ia akan bermanfaat karena bias membantu matahari menerangi bumi.
Aku pasti ingat pintamu. Dari jauh bantulah aku Sayang, bantulah aku untuk kuat dengan segala cobaan, bantulah aku untuk tidak lagi menangisimu. Bantulah aku untuk ikhlas melepasmu.
Tapi tetap saja, setiap melihat Bulan aku selalu teringat padamu.
Salam sayang,
suamimu.
Untuk istriku tercinta,
Di surga.
Puing Widya
Langganan:
Postingan (Atom)