Selasa, 25 Juli 2017

Bocah di Bebatuan

Bocah di Bebatuan

Terbang ke Gaza, ah pikiran mana yang akhirnya memotivasi ku. Tapi aku berangkat juga akhirnya. Aku sebagai seorang tenaga medis tiba-tiba mendaftarkan diri untuk bergabung menjadi tim SAR. Bukan, bukan karena aku berjiwa sosial atau tergerak hatinya. Aku bukan orang seperti itu, sungguh. Karena jabatan, ya tentu saja. Aku akan naik tingkat setelah melakukan pekerjaan ini. 
Aku melangkahkan kakiku yang berat. Takut, pasti. Jalur Gaza seperti tanah gersang di mataku. Sunyi, hanya samar ada deru mobil atau tank mungkin. Aku menyusuri jalan mengikuti rombongan. Tak lama kami sampai di tenda-tenda tempat pengungsian. Aku meletakkan barang-barang ku di tenda. Duduk sejenak melihat sekeliling. Sampai mataku tertuju pada sekelompok anak yang bermain bersama seseorang, orang Indonesia sepertinya, meskipun fasih sekali berbahasa Arab. Anak-anak tertawa dan menyanyi bersamanya. Aku tersenyum melihat mereka. Orang itu pasti relawan yang tergerak hatinya, bukan seperti aku.
Aku melihat ke arah lain, dan mataku menemukan seorang anak yang menangis di bebatuan. Seorang anak laki-laki sekitar tujuh tahun mungkin. Ia memakai kaos lusuh dengan celana, matanya sembam. Aku melangkah mendekati nya. Ah, sial. Coba aku bisa bahasa Arab.
Tapi aku tetap mendekatinya. Saat tangan ku menyentuh punggungnya, ia berbalik dan memelukku. Ia menangis sambil berbicara tapi aku tak bisa mengerti. Hah, jadilah aku seperti bisu di sini. 
"Dia menangisi kakaknya, kemarin tertembak," suara seseorang tiba-tiba di sampingku. Aku masih memeluk bocah laki-laki kecil itu.
Dia seumuran anakku. Anakku mungkin masih sekolah bermain bersama guru dan teman-temannya. Menangis, anakku yang manja itu paling menangis kalau permintaannya tidak dipenuhi. Sedangkan bocah di bebatuan ini, mau minta pada siapa dia.
"Dia sudah tidak punya siapa-siapa, ibunya meninggal, ayahnya bahkan tak ditemukan jasadnya, membaur bersama pejuang-pejuang lain yang mereka sebut pemberontak. Sementara kakaknya kemarin baru saja tertembak," terang seseorang di sampingku.
"Dokter baru datang kan?" lanjutnya.
"Iya, namaku Yusril salam kenal Pak," ucapku sambil menyalami lelaki yang sedari tadi duduk di sampingku.
"Saya Wildan," ia menyambut uluran tanganku. 
"Tim SAR?" tanyaku lagi.
"Iya, tiga bulan sekali aku pulang," ia meminum air putih botol di tangannya. 
Anak laki-laki kecil itu tertidur di pangkuan ku. Tampak lucu, meringkuk, persis seperti anakku. Wajahnya manis, kulitnya putih hanya kotor karena debu. Anak ini, ah apa pikiranku ini. Entah hatiku tiba-tiba bergetar, aku terguguk pelan. Aku tahan khawatir barang kali ia terbangun. Aku hanya menghela nafas pelan. 
Apa yang akan dilakukan anak sekecil ini, pikiranku kali itu, dan plash seperti sihir. 
Empati ku muncul. Aku yang bermula pada orientasi jabatan hilang sudah. Aku tidak akan seminggu di sini, aku akan bertahan. Aku akan mengurus mereka, sebisaku.


Puing
24.07.17

Sabtu, 08 Juli 2017

Ikhlas semudah itu kah?

Ikhlas, semudah itu kah?
#smansamenulis02

Sebenarnya aku enggan menulis apapun.
Apapun tentang bintang, tentang pelangi, tentang warna biru, tentang danau yang berikan kedamaian, tentang nyanyian yang berdengung di surga, tentangmu, tentangku.
Aku tak ingin menulis apapun.
Tapi, jika aku hanya bisa menuliskan kata, sebagai pelarianku saat waktu seakan mencekik leherku, dan ketika nafas berubah menjadi carbon monoksida  pedih yang siap membunuhku kapan saja, tak bernafas mati, bernafas pun sama saja.
tapi kematian tak menjadi pilihanku,
tentu saja.
Aku bersyukur masih memiliki apa yang orang sebut ‘iman’,
dan iman itulah yang membuat aku bertahan, imanku pada Sang Pencipta Hidup.

Sesekali ku pandangi bintang di langit, sekedar mengalihkan mataku dari monitor, tapi ingatanku justru mengarah padanya, huh, bodoh!
ku telungkupkan wajahku, semakin aku berusaha, semakin perih.

“Bisa minta tolong,” suaranya masih terdengar hangat di telingaku, sekali pun aku tahu, ia berusaha mati-matian supaya suara hangatnya itu menjadi sedingin kutub, dasar bodoh, kau tak akan bisa, suaramu tetap terasa hangat di telingaku.
“Tolong jangan pakai Purple Paris Hilton di sini,” ucapnya tanpa menatapku.
aku tertunduk  tanpa menjawab barang sepatah katapun, aku tercekik, dan memang telah lama tercekik, oleh apa yang mereka bilang tentang cinta.
aku tersenyum tipis, tetap dengan kepala menunduk, ‘ia masih hafal parfumku,’ karena itu, bohong jika ia berkata sudah tak mencintaiku, persetan apa orang bilang tentang cinta.
Kegiatan di pesantren kali ini adalah duri beracun bagiku, karena seperti biasa aku dan dia selalu satu kepanitiaan. Aku mengurusi santri putra dan ia mengurusi santri putri.
aku banyak diam kali itu, aku sudah bilang, aku tercekik, oleh cinta yang bukan pada tempatnya.

“Zam, kamu udah makan?” aku segera menoleh ke pintu, lamunanku buyar, tampak Kak Tami dengan stelan blouse biru muda, biru muda, uhh, itu warna kesukaannya.
“Belum.” Jawabku pendek seraya mengembalikan fokusku ke monitor.
“Makan dulu, ba’da isya kan masih ada kegiatan di pesantren, nanti berangkat bareng ya?”
ku matikan notebook ku dan menuju tempat makan, sekali pun aku malas untuk makan, paling tidak aku tidak ingin tampak sedang punya beban berat di depan orang tuaku.

Ba’da isya ku boncengkan kak Tami dengan sepeda motorku,
“Ganti parfum ya?”
“Iya.”
Mana mungkin ku ceritakan pada kak Tami tentang ia, bintang itu sahabat kak Tami, sekalipun tak terlalu dekat, tapi tetap saja, aku tak ingin kak Tami tahu.
Di pesantren setelah usai acara dan berkemas-kemas, ku pandangi bintang dari jauh, ia berjalan bersama santriwati yang lain, berjalan pulang, meninggalkanku yang masih tercekik waktu.
Dua minggu yang lalu, bintangku baru saja disunting langit,
dan aku tak punya daya, bahkan untuk menangisi kepedihanku pun aku tak punya hak.
terlalu picik  hatiku memahami cinta, sampai tidak bisa membatasi, yang mana yang boleh ku cinta dan yang mana yang haram ku cinta, Namun, dosakah cinta?
aku tertunduk di altar masjid, menyepi bersama mereka yang khusyuk iktikaf, tetapi aku malah pada bayangan bintang.
Tuhan,
bahkan aku sering membodohkan diriku sendiri kenapa jatuh cinta pada bintang, padahal ada puluhan wanita lain, tapi kenapa  bintang, kenapa bintang, kenapa bintang?

Aku tak tahu berawal dari mana, biar ku  kilas balik dosaku ini,
Nama bintang itu, Salyata Fairuz, aku biasa memanggilnya Aya, mungkin aku memang terpengaruh sosok Aya yang diperankan Zaskia Adiya Meka di sinetron Para Pencari Tuhan, Bukan karena namaku Azam, jadi aku ingin dia menjadi Aya, tetapi karena bawelnya, ngambeknya, semua, ia mirip Aya.
akrab dengannya sudah lama, aku kenal sejak kecil, kami satu pesantren dan kami sering ditugasi beberapa kegiatan-kegiatan di pesantren, kami punya misi yang sama untuk pesantren ini, dan aku selalu ingin mewujudkannya.
Awalnya sih biasa,
Ya, memang, awalnya biasa, persahabatan kami, bahkan kadang aku menganggapnya kakak dan ia menganggapku adik, maklum usiaku lebih muda darinya, dia seumuran Kak Tami.
aku tidak tahu pastinya kapan aku mulai menyimpan sepotong duri beracun yang mereka sebut cinta, aku tak tahu. semua berlalu begitu saja, tiba-tiba seiring waktu.
Dulu  ia sering mengomeliku tentang kesukaanku pada music-musik anak muda, seperti the Virgin atau pun Kotak, aku suka dua grup band itu sekali pun didominasi cewek, dan bagi bintang, aku cemen karena kesukaanku itu,
awalnya aku tidak peduli tapi lama-lama aku kangen dengan ejekannya itu,
“Masa laki-laki suka music gitu, cemen ah,”
aku punya penjelasan logis tiap diejek orang lain, tapi tidak dengan bintang, aku tak punya jawaban, sampai ia mengenalkanku pada ‘shalawatan’ dan penyanyi favoritnya, Sulis, (red. itu lho yang di cinta rasul suka nyanyi bareng Hadad Alwi)
dulu saat masih kecil aku juga suka lihat Sulis, dan kini aku suka pada Sulis (lagi), aku suka tak hanya suaranya, tapi wajahnya, senyumnya, tutur  katanya, semua, aku benar-benar pindah aliran, dari idolaku setipe Mitha the Virgin or Chua Kotak, berubah menjadi gadis muslimah yang anggun, Sulis Cinta RAsul.
aku suka, aku ngefans, bahkan kalau boleh, aku ingin menjadi suaminya, ngayal.
krek
tombol stop di music player ku tekan keras, bunyinya seperti pukulan telak bagiku,
suara Sulis yang menyenandungkan alunan surga, menghilang seketika,
berganti perih yang memutari seluruh hatiku,
klik
play pada lagu lain berlanjut
aku tertunduk,
“aku berhenti berharap, dan menunggu datang gelap, hingga nanti suatu saat tak ada cinta ku dapat……”
berganti alunan Sheila on7
mengalun lembut,
mewakili rasaku

“Kamu iktikaf apa ndengerin music tah le?”
suara lembut seorang lelaki paruh baya mengagetkanku,
Ustadz,
oh aku malu sekali, rupanya ustadz memperhatikanku sedari tadi.
“Afwan Ustadz,”
segera kumatikan music playerku, kulepas headset
“Hatimu sedang ndak menentu ya?”
aku hanya menunduk.
“Ikhlaskan,”
suara ustadz seakan gema lirih yang menggetarkanku,
andai aku tahu seperti apa sebenarnya ikhlas itu.
apakah ikhlas adalah tersenyum memandangnya bersanding dengan lelaki lain,
apakah ikhlas itu menganggap semua yang ku lihat tidak ada,
apakah ikhlas itu lebih baik tak melihat kejadian itu, menyepi, menangisi sendiri,
entah lah, apapun itu ikhlas, hatiku tetap perih, leherku tetap tercekik, padahal sudah dua minggu yang lalu.

Ustadz Hanafi meninggalkanku, kini aku tertunduk, music playerku ku kantongi, duduk bersimpuh kini aku, tapi tak sepotong tasbih pun terucap dari bibirku,
aku diam, dan hanya itu yang bisa ku lakukan.
malam semakin larut, satu per satu santri meninggalkan masjid untuk istirahat, aku bisa menghitung hanya ada tiga santri di depanku yang tengah asyik memuji Tuhan, dan mungkin dua atau bahkan tak ada di belakangku, aku tak menoleh.
hening,
dikeheningan aku berfikir,
hatiku bergetar ketika mengingatnya,
aku baru kali ini jatuh cinta, dan bodohnya aku jatuh cinta pada wanita yang sudah dikhitbah, bahkan kini aku lebih bodoh karena belum mengikhlaskannya, wanita yang akan menjadi isteri orang.
Ikhlas, apa itu?
Bullshitt!
bagaimana bisa ikhlas, aku hanya manusia biasa, yang punya cemburu, yang punya menyesal, yang punya lara, lara hati ini, sungguh, bagaimana bisa, apa mungkin bisa.
Cinta,
sebelumnya tidak ada seperti ini di kamus hidupku, karena cinta bagiku akan datang nanti dengan cara yang tepat dan orang yang tepat pula, lalu bagaimana mungkin aku begitu bodoh hingga jatuh cinta padanya, wanita yang hampir bersuami.
Tuhan,
beritahu aku bagaimana ikhlas itu,
aku gamang dengan satu kata itu, aku tak tahu maknanya, apalagi cara mengaplikasikannya, aku tak tahu.

Kini bibirku mulai bergumam pelan,
subhanallah
subhanallah
subhanallah
……..

sampai aku sendiri tak bisa mendengar suaraku.

Waktu pun berlalu, hari yang kutakutkan pun tiba, pernikahannya.
Ustadz Hanafi memberitahuku bahwa ada acara besar, karena Salya akan menikah, aku diminta menyiapkan marawis untuk dipertunjukkan pada saat resepsi pernikahan, tidak hanya itu, berhubung Ilham, vokalis marawis sedang mengikuti lomba di provinsi, akhirnya aku yang harus turun menjadi vokal.
Aku tertunduk di teras pesantren, “Akhi, besok siap ya?” ucap Hilda, vokalis putri. Aku tersenyum tipis.
Mereka tidak tahu hatiku hancur berkeping-keping saat itu.
Semalaman aku tidak bisa tidur, aku masih terduduk pilu di kamar pesantren, aku sengaja tak pulang, aku pikir jika di pesantren aku jadi banyak teman, dan bisa sejenak melupakannya, tapi bintang tetaplah berkelip tiap malam, tak terkalahkan oleh kedipan lampu-lampu yang menghiasi kota, tetap saja aku mengingatnya, karena hatiku benar-benar tak kuasa, akhirnya sepotong dosa ku kirim, ya sms, aku mengirimi wanita yang besok akan melangsungkan akad nikah, dengan kalimat,
‘Aya, hatiku perih malam ini, aku ingin besok tak segera datang, aku ingin malam ini kita berlari ke suatu tempat, menyepi, dan menghilang, tak apalah aku menjadi angin, asal bersamamu.’
Entah apa yang aku pikirkan malam itu, tapi aku mengirim sms itu, entah pula setan apa yang meracuni otakku, kenapa hatiku begitu rapuh, aku tak bisa menjaga hati dengan baik, tidakkah aku melihat kenyataan, tidakkah aku melihat kebahagiaannya bersama suaminya nanti, harusnya tak apa aku sakit, asal dia bahagia, tapi entah pula kenapa aku berfikir dia tak bahagia, dia hanya bahagia jika bersamaku.
Mataku hampir menutup saat handphone ku bergetar menandakan diterimanya sepotong pesan.
‘Maaf Zam, nasi sudah menjadi bubur, ikhlaskan aku,’
Tanpa sadar air mataku meleleh dibuatnya, apa-apaan kau bintang, kau membuat aku menangis, bodoh, kau bodoh bintang, aku yang mencintaimu, dan aku yang kau cintai, bukan dia, kau menerimanya karena perjodohan kan, karena kau tak bisa menolak orang baik yang mempersuntingmu kan, karena keluargamu kan, bukan karena kau memang sejak awal jatuh cinta padanya, sadarlah bintang, aku  lah yang bisa membuatmu jatuh cinta.
Aku tergugu malam itu, menutup wajahku dengan selimut. Kutahan suara yang mungkin saja bisa terdengar teman sekamar di pesantren.
Aku menghela nafas berat,
Astaghfirullohaladzim....
Astaghfirullohaladzim....
Astaghfirullohaladzim....
......
Dan aku pun terlelap, dan pagi pun datang.
Sekuat hati aku mencoba tersenyum, baju yang ku kenakan adalah koko biru laut, dia akan terpesona, dia pernah bilang dia suka melihat aku memakai baju ini, picik sekali aku ini, aku bahkan berharap keajaiban muncul seperti dalam senetron televisi, ya keajaiban muncul saat ia berteriak dan memilih aku sebagai mempelai laki-lakinya, ahh apa ini, setan mungkin merasuk ke dalam hatiku lagi, ikhlas Zam, ikhlas...
Aku sengaja menjauhkan diri saat acara ijab qabul, meskipun aku tetap mendengar suara laki-laki itu dengan tegas menyebut namanya. Aku menyepi di samping rumah, tapi aku malah melihatnya, bodohnya aku, untuk apa aku bersembunyi tapi malah melihat wajahnya dengan jelas dari jendela, tampak dia duduk dikelilingi keluarganya, dan menangis haru saat ijab qabul selesai diucapkan.
Aku lemas seketika, hatiku benar-benar hancur berkeping-keping, salah siapa ini, kenapa aku harus jatuh cinta padanya, dan kenapa aku tak bisa membuang perasaan ini.
Ikhlas Zam, ikhlas....
Bisikku perih pada diriku sendiri

Puing,
28.05.17

Bukan Bandung dan Jonggrang part.3

Bukan Bandung dan Jonggrang
Part.3
Kehilangan

Hari itu adalah hari naas. Saat kutukan dan sumpah serapah didengar langit. Ia pun hanya tinggal meratapi sesal. Menatap pujaan hatinya telah membatu. Matanya masih lekat menatap patung batu yang tak lain adalah Roro Jonggrang. "Apa yang telah aku lakukan," bisiknya masih penuh sesal. Kini ia telah kehilangan wanitanya. Ia bak hampa, apa ia bisa. Kehilangan sekalipun masih bisa ia tatap. Apa guna, hampa ia rasa. Bisa menatapnya tapi tak bisa melakukan apa-apa. Pun sekedar bercakap tak bisa. "Apakah lebih baik jika benar-benar tak ada," ujarnya lagi dengan tatapan kosong. Ia pun berbalik dan mulai melangkah perlahan. Meninggalkan cintanya yang telah membatu. Perlahan titik-titik gerimis berjatuhan seolah langit ikut menangisinya. Wajah batu itu masih menatapnya dari kejauhan. Sekalipun ia terus melangkah menjauh. "Maafkan aku, Bandung," batinnya. Nasi telah menjadi bubur. Ia telah menjadi batu. Kutukan sang Bandung manjur baginya. Apa daya. Mungkin benar, lebih baik benar-benar kehilangan dari pada tetap di depan mata tapi menyapanya pun tak bisa.
Aku membenamkan kepalaku di atas buku Roro Jonggrang yang masih terbuka. Aku seperti merasakan hal yang sama. Bisa melihat nya tapi menyapanya pun tak bisa.
Kini mataku mengarah pada sosok laki-laki yang tengah duduk di teras kantin itu. Biasanya aku ada di sampingnya, bercanda, ngobrol, apa saja, bersama. Tapi kini, ah..
"Maaf Kinan, tapi kau harus mengerti," ucap seorang wanita separuh baya dengan pakaian glamor. Ia turun dari mobilnya dan menemuiku pulang sekolah, mengajakku makan siang dan ternyata ini tujuannya. Ya, memintaku menjauhi anaknya.
"Raka baru saja merilis singel, dan booming, mama tidak ingin usahanya sia-sia hanya karena terjebak gosip murahan," terangnya lagi.
Aku masih diam, mencoba mencermati kata-katanya.
"Tolong menjauhlah dari Raka," ucapnya sambil menunjukkan selembar foto.
Aku mengambil foto itu, tampak aku dan Raka yang sedang makan es krim bersama. Apakah menjadi temannya pun tak boleh? Batin ku.
"Kami hanya berteman, Tante," akhirnya aku bersuara juga.
"Tante mengerti, tapi apakah wartawan-wartawan itu akan mengerti, apakah fans akan mengerti, apakah agensi juga mengerti, tidak Kinan," terangnya, "Akan sulit memberi penjelasan pada banyak kepala, karena itu lebih baik Tante minta pengertian mu," lanjutnya.
Aku diam. Mungkin inilah akhir. Sebenarnya aku ingin membela diri. Apa masalahnya, kenapa berteman saja tak boleh. Sesusah itu kah?
Hari berlalu. Ternyata bukan hanya ibunya, anaknya juga benar-benar patuh. Ia menghilang dari rutinitas ku. Padahal ia di depan mata tapi aku telah kehilangannya, sahabat.

Puing
5717