“Bukan Bandung dan Jonggrang”
Aku adalah Bandung, yang jatuh cinta pada seorang perempuan
bernama Jonggrang. Meskipun aku tahu Jonggrang adalah anak dari Raksasa Baka
yang sudah aku musnahkan. Tidak mungkin Jonggrang akan menerima pembunuh
ayahnya sendiri. Aku telah melumuri darah ayahnya dan aku jatuh cinta padanya.
Sekuat apapun aku berusaha tak akanlah membawa hasil cintanya. Di kehidupan
manapun mana ada perempuan yang mau menerima laki-laki yang sudah membunuh
ayahnya, menghancurkan keluarga dan kerajaannya. Aku lah Bandung, yang berusaha
sekuat tenaga meraih cintanya sekalipun tak mungkin. Sekalipun dimasa yang lalu
pernah aku membuatnya jatuh cinta, tapi setelah darah ayahnya bercucuran di
tanganku, mana mungkin ia mengorbankan kehormatan dirinya, keluarganya, dan
kerajaannya yang telah kutindas. Aku adalah Bandung.
Suara Nala menggema di pementasan akhir tahun drama di SMA
Jenderal Sudirman. Tepuk tangan riuh mengiringi akhir pementasan yang memukau
itu.
“Good job Nala, good job!” teriak seorang perempuan
berkacamata sambil bertepuk tangan girang.
Suara tawa dan hingar bingar kesuksesasn terdengar di belakang
panggung. Terus menyusur hingga di bascame ekskul berjuluk Teater Pelangi itu.
“Kesuksesan ini tentu saja tidak lepas dari tangan dinginmu
Kinan,” puji seoreng wartawan sekolah seraya mengacungkan alat perekam pada
gadis berkucir ekor kuda itu.
Setelah tersenyum dia menjawab dengan santai, “Ini semua
berkat kerja sama semua pihak,” jawabnya anggun.
Ahh, perempuan itu. Aku masih menatapnya dari kejauhan,
menunggu para paparazi sekolah itu pergi. Setelah sepi, Kinan mulai berjalan
menghampiriku.
“Bagus nggak tadi, Bandung dan Jonggrang,” suaranya
sumringah setelah dia duduk di sampingku.
“Bagus, sayangnya kau tidak memilih aku menjadi aktornya,”
jawabku sekenanya.
“Hai, kau tak lihat ekspresi Nala yang pas banget,”
“Tapi kan namaku jauh akan menaikkan ratting pementasanmu,
belum lagi sponsor, kau akan jauh lebih untung jika aku yang main,”
“Kamu itu nggak pantes jadi Bandung Bondowoso,” jawabnya dan
ngeloyor ninggalin aku.
Aku tersenyum setelah sedikit mengejeknya. Ahh, kalau ingat
masa-masa casting itu menyebalkan sekali. Itu bahkan sedikit menurunkan pamorku
sebagai selebritis yang sudah cukup
wara-wiri di layar kaca. Bahkan aku sampai membaca sebuah headline, “Artis FTV
gagal casting drama sekolahan,” oh my God, that’s freak.
Tapi tak apalah, aku tahu mata Kinan jeli. Dia sangat
mengerti aku mungkin tak bisa menjadi Bandung. Bandung yang berusaha mati-matian
mengabulkan keinginan Jonggrang hanya untuk mendapatkan cintanya sekalipun ia
tahu, itu sangat sulit. Bahkan Bandung dengan gigih membuat Sumur jalatungga,
hingga ia dikubur hidup-hidup di sumur itu. Pun tak membuatnya berhenti, lantas
ia lanjutkan seribu candi sekalipun sekali lagi ia harus mengorbankan dirinya
untuk perjanjian terkutuk dengan para demit di dalam bumi. Ahh bodoh si Bandung
itu, ia berusaha nmeskipun ia tahu usahanya akan sia-sia. Ditolaklah ia.
Akhirnya ia membuat Jonggrang menjadi Batu, titik itulah baru yang aku setuju.
Rasakan si Jonggrang itu.
“Kau tersenyum sendiri mister seleb,” aku terkejut oleh
kehadiran Kinan yang sudah duduk di sampingku sambil mengunyah cilok. Bau
sambal kacangnya samapi juga di hidungku.
“Tidak, aku hanya puas si Jonggrang itu menjadi batu,”
jawabku langsung.
“Aku tahu kau pasti akan menyukai sisi itu, ahh dasar kau
itu laki-laki masa tidak bisa memperjuangkan cintamu,” ejek Kinan dengan mulut
yang masih mengunyah itu.
Bukan, bukan tidak bisa. Tidak mau lebih tepatnya. Aku bukan
pejuang cinta. Kalau di luar sana banyak wanita yang menggilaiku, untuk apa aku
memperjuangkan seseorang yang hanya menganggapku teman, bahkan nge fans padaku
pun sepertinya tidak.
Aku diam dan pura-pura membuka sosial mediaku.
Ya, perempuan bernama Kinan itu.aku memang sudah
menceritakan aku jatuh cinta pada seseorang meskipun aku tak menyebutkan
namanya. Ia terus mendesakku untuk memperjuangkan cintaku. Tapi buat apa, toh sepertinya dia hanya
menganggapku sebagai teman biasa. Ia bahkan pernah bilang, “kalau aku jatuh
cinta aku pasti akan memperjuangkan cintaku, aku tidak mau seperti Pitaloka
yang diam saja saat dijodohkan dengan Hayam Wuruk, kalau yang dicintainya
Gajahmada harusnya ia menolak dan dengan tegas mengatakan gajahmada tujuanku,
ah pasti tidak akan ada Perang Bubat,” ocehnya kala itu.
Perempuan itu selalu membayangkan sejarah seenak jidatnya.
Untung di drama kemarin dia tetap sesuai akhir cerita jonggrang menjadi batu.
Kalau diubah jadi manekuin kan susah juga, jaman dulu belum ada manekuin. Drama
kemarin dia mengubah awalnya. Harusnya Bandung baru jatuh cinta saat setelah
kerajaan Baka ditaklukan, tapi dia menyebut Bandung dan Jonggrang sudah jatuh
cinta sebelumnya, ah ada-ada saja dia.
Pukk
Sebuah koran lokal sekolah terlempar tepat di atas mejaku.
“Baca tuh!” seru seseorang yang tidak lain adalah Nala.
Tampak jelas headline tulisannya, “Kinan mengaku Jatuh hati pada pemeran
Bandung Bondowoso.”
Aku tersenyum.
“Ngapain cuma senyum?” dia tampak risih dengan gosip itu dan
duduk di sampingku. “Kalau kau tak menjadikannya pacar, gimana kalau tiba-tiba
aku yang jadi pacarnya?” ujarnya setengah mengancam.
“Bodoh!” umpatku sambil mendorong kepalanya.
“Hei, aku heran, kamu suka sama Kinan tapi dia digosipkan
sama aku loh, kamu nggak cemburu?”
“Buat apa? Emangnya kalian bakalan nikah besok?” ucapku
balik bertanya.
Ini yang sering aku heran sama anak muda, suka, pacaran, toh
ujung-ujungnya putus, buat apa. “Lagian aku tahu, yang kamu sukai bukan Kinan,
tapi si Jonggrang itu kan?” ledekku dan tampak wajah Nala merah tersipu.
Aku tersenyum merasa menang. “Kamu juga nggak akan kan
pacaran sama si Jonggrang itu?”
“Beda kasusnya bego!” jawabnya.
Sebenarnya sama, mungkin itulah yang membuat kami berteman.
Kami sama-sama berfikir, cinta masa muda hanya semu. Kita bahkan belum mengerti
makna dari cinta yang sesungguhnya. Belum paham bagaimana bisa mencintai,
mengasihi, dan menyayangi pasangan kita dengan baik. Satu hal yang pasti, kita
belum butuh.
Lalu butuhnya kapan, nanti. Suatu saat ketika jiwa bar-bar
lelaki di darah kami mulai padam. Ketika ego kami sebagai laki-laki perlahan
turun untuk sekedar memahami saat sang wanita merajuk, saat sang wanita
menangis. Tidak hanya melakukan apa yang wanita kata tanpa berfikir jauh
seperti Bandung, sia-sia bukan.
Ketika kita bisa mengerti cinta yang tulus, tanpa tendensi.
Aku melihat nala kini melamun menatap perempuan yang
memerankan tokoh jonggrang itu, “Jika dia jodohmu, tak akan lah ia menjadi
batu,” bisikku sambil bangkit.
“Sialan!” seru Nala mengejarku.
Kami, menghabiskan waktu istirahat kami di kantin, enjoy
bukan. Lalu cinta? Simpan saja sampai saatnya tiba.
Puing
14.06.17
#smansamenulis02