Kamis, 15 Juni 2017

Cerpen "Bukan Bandung dan Jonggrang"



“Bukan Bandung dan Jonggrang”

Aku adalah Bandung, yang jatuh cinta pada seorang perempuan bernama Jonggrang. Meskipun aku tahu Jonggrang adalah anak dari Raksasa Baka yang sudah aku musnahkan. Tidak mungkin Jonggrang akan menerima pembunuh ayahnya sendiri. Aku telah melumuri darah ayahnya dan aku jatuh cinta padanya. Sekuat apapun aku berusaha tak akanlah membawa hasil cintanya. Di kehidupan manapun mana ada perempuan yang mau menerima laki-laki yang sudah membunuh ayahnya, menghancurkan keluarga dan kerajaannya. Aku lah Bandung, yang berusaha sekuat tenaga meraih cintanya sekalipun tak mungkin. Sekalipun dimasa yang lalu pernah aku membuatnya jatuh cinta, tapi setelah darah ayahnya bercucuran di tanganku, mana mungkin ia mengorbankan kehormatan dirinya, keluarganya, dan kerajaannya yang telah kutindas. Aku adalah Bandung.
Suara Nala menggema di pementasan akhir tahun drama di SMA Jenderal Sudirman. Tepuk tangan riuh mengiringi akhir pementasan yang memukau itu.
“Good job Nala, good job!” teriak seorang perempuan berkacamata sambil bertepuk tangan girang.
Suara tawa dan hingar bingar kesuksesasn terdengar di belakang panggung. Terus menyusur hingga di bascame ekskul berjuluk Teater Pelangi itu.
“Kesuksesan ini tentu saja tidak lepas dari tangan dinginmu Kinan,” puji seoreng wartawan sekolah seraya mengacungkan alat perekam pada gadis berkucir ekor kuda itu.
Setelah tersenyum dia menjawab dengan santai, “Ini semua berkat kerja sama semua pihak,” jawabnya anggun.
Ahh, perempuan itu. Aku masih menatapnya dari kejauhan, menunggu para paparazi sekolah itu pergi. Setelah sepi, Kinan mulai berjalan menghampiriku.
“Bagus nggak tadi, Bandung dan Jonggrang,” suaranya sumringah setelah dia duduk di sampingku.
“Bagus, sayangnya kau tidak memilih aku menjadi aktornya,” jawabku sekenanya.
“Hai, kau tak lihat ekspresi Nala yang pas banget,”
“Tapi kan namaku jauh akan menaikkan ratting pementasanmu, belum lagi sponsor, kau akan jauh lebih untung jika aku yang main,”
“Kamu itu nggak pantes jadi Bandung Bondowoso,” jawabnya dan ngeloyor ninggalin aku.
Aku tersenyum setelah sedikit mengejeknya. Ahh, kalau ingat masa-masa casting itu menyebalkan sekali. Itu bahkan sedikit menurunkan pamorku sebagai  selebritis yang sudah cukup wara-wiri di layar kaca. Bahkan aku sampai membaca sebuah headline, “Artis FTV gagal casting drama sekolahan,” oh my God, that’s freak.
Tapi tak apalah, aku tahu mata Kinan jeli. Dia sangat mengerti aku mungkin tak bisa menjadi Bandung. Bandung yang berusaha mati-matian mengabulkan keinginan Jonggrang hanya untuk mendapatkan cintanya sekalipun ia tahu, itu sangat sulit. Bahkan Bandung dengan gigih membuat Sumur jalatungga, hingga ia dikubur hidup-hidup di sumur itu. Pun tak membuatnya berhenti, lantas ia lanjutkan seribu candi sekalipun sekali lagi ia harus mengorbankan dirinya untuk perjanjian terkutuk dengan para demit di dalam bumi. Ahh bodoh si Bandung itu, ia berusaha nmeskipun ia tahu usahanya akan sia-sia. Ditolaklah ia. Akhirnya ia membuat Jonggrang menjadi Batu, titik itulah baru yang aku setuju. Rasakan si Jonggrang itu.
“Kau tersenyum sendiri mister seleb,” aku terkejut oleh kehadiran Kinan yang sudah duduk di sampingku sambil mengunyah cilok. Bau sambal kacangnya samapi juga di hidungku.
“Tidak, aku hanya puas si Jonggrang itu menjadi batu,” jawabku langsung.
“Aku tahu kau pasti akan menyukai sisi itu, ahh dasar kau itu laki-laki masa tidak bisa memperjuangkan cintamu,” ejek Kinan dengan mulut yang masih mengunyah itu.
Bukan, bukan tidak bisa. Tidak mau lebih tepatnya. Aku bukan pejuang cinta. Kalau di luar sana banyak wanita yang menggilaiku, untuk apa aku memperjuangkan seseorang yang hanya menganggapku teman, bahkan nge fans padaku pun sepertinya tidak.
Aku diam dan pura-pura membuka sosial mediaku.
Ya, perempuan bernama Kinan itu.aku memang sudah menceritakan aku jatuh cinta pada seseorang meskipun aku tak menyebutkan namanya. Ia terus mendesakku untuk memperjuangkan cintaku.  Tapi buat apa, toh sepertinya dia hanya menganggapku sebagai teman biasa. Ia bahkan pernah bilang, “kalau aku jatuh cinta aku pasti akan memperjuangkan cintaku, aku tidak mau seperti Pitaloka yang diam saja saat dijodohkan dengan Hayam Wuruk, kalau yang dicintainya Gajahmada harusnya ia menolak dan dengan tegas mengatakan gajahmada tujuanku, ah pasti tidak akan ada Perang Bubat,” ocehnya kala itu.
Perempuan itu selalu membayangkan sejarah seenak jidatnya. Untung di drama kemarin dia tetap sesuai akhir cerita jonggrang menjadi batu. Kalau diubah jadi manekuin kan susah juga, jaman dulu belum ada manekuin. Drama kemarin dia mengubah awalnya. Harusnya Bandung baru jatuh cinta saat setelah kerajaan Baka ditaklukan, tapi dia menyebut Bandung dan Jonggrang sudah jatuh cinta sebelumnya, ah ada-ada saja dia.
Pukk
Sebuah koran lokal sekolah terlempar tepat di atas mejaku.
“Baca tuh!” seru seseorang yang tidak lain adalah Nala. Tampak jelas headline tulisannya, “Kinan mengaku Jatuh hati pada pemeran Bandung Bondowoso.”
Aku tersenyum.
“Ngapain cuma senyum?” dia tampak risih dengan gosip itu dan duduk di sampingku. “Kalau kau tak menjadikannya pacar, gimana kalau tiba-tiba aku yang jadi pacarnya?” ujarnya setengah mengancam.
“Bodoh!” umpatku sambil mendorong kepalanya.
“Hei, aku heran, kamu suka sama Kinan tapi dia digosipkan sama aku loh, kamu nggak cemburu?”
“Buat apa? Emangnya kalian bakalan nikah besok?” ucapku balik bertanya.
Ini yang sering aku heran sama anak muda, suka, pacaran, toh ujung-ujungnya putus, buat apa. “Lagian aku tahu, yang kamu sukai bukan Kinan, tapi si Jonggrang itu kan?” ledekku dan tampak wajah Nala merah tersipu.
Aku tersenyum merasa menang. “Kamu juga nggak akan kan pacaran sama si Jonggrang itu?”
“Beda kasusnya bego!” jawabnya.
Sebenarnya sama, mungkin itulah yang membuat kami berteman. Kami sama-sama berfikir, cinta masa muda hanya semu. Kita bahkan belum mengerti makna dari cinta yang sesungguhnya. Belum paham bagaimana bisa mencintai, mengasihi, dan menyayangi pasangan kita dengan baik. Satu hal yang pasti, kita belum butuh.
Lalu butuhnya kapan, nanti. Suatu saat ketika jiwa bar-bar lelaki di darah kami mulai padam. Ketika ego kami sebagai laki-laki perlahan turun untuk sekedar memahami saat sang wanita merajuk, saat sang wanita menangis. Tidak hanya melakukan apa yang wanita kata tanpa berfikir jauh seperti Bandung, sia-sia bukan.
Ketika kita bisa mengerti cinta yang tulus, tanpa tendensi.
Aku melihat nala kini melamun menatap perempuan yang memerankan tokoh jonggrang itu, “Jika dia jodohmu, tak akan lah ia menjadi batu,” bisikku sambil bangkit.
“Sialan!” seru Nala mengejarku.
Kami, menghabiskan waktu istirahat kami di kantin, enjoy bukan. Lalu cinta? Simpan saja sampai saatnya tiba.

Puing
14.06.17

#smansamenulis02

Senin, 05 Juni 2017

Cerpen #Tugas #SmansaMenulis02 #Tema:Bully

Sanksi, sepotong ejekan...”

“Celana Jeans, satu, dua, tiga, empat, lima, enam…. dan satu trining olah raga,”
Hahaha…..
Tawa pecah di dalam sebuah gerbong kereta api kaligung express jurusan Semarang. Kali itu kami para mahasiswa penerima beasiswa diwajibkan mengikuti upacara pembukaan Dies Natalis kampus di Semarang. Tujuh di antara kami termasuk aku dan Bulan memilih menggunakan transportasi kereta api untuk menuju ke sana.
Dan konyolnya, kenapa Bulan mengenakan trining olah raga untuk berangkat, kayak nggak punya celana lain aja.
“Semiskin-miskinnya kamu masa sih sampai celana jeans aja nggak kebeli,” suaraku kembali menggema di antara deru dan decitan kereta.
“Di pasar loak itu banyak, murah-murah pula,” ujarku serius.
Ahh Bulan, perempuan itu selalu pantas untuk kujadikan bahan lelucon, salah dia sendiri, salah dia sendiri kumal. Apa susahnya menjadi modis seperti teman-teman yang lain, mau pilih style apa juga silahkan lah. Gaya sporty, feminim, atau anggun, ehh ni bocah malah kagak tau style apa, semrawut di mataku.
Terus saja kuledekin dia, tak hanya karena celana yang ia kenakan tapi semua termasuk kulitnya yang hitam dan tanpa make up sedikit pun, terus saja, kalau ada yang ngajak bicara Bulan selalu saja aku bilang, “Gak usah ngobrol sama orang jelek…”
Teman-teman yang lain girang banget ikut meledekinya, dan awalnya ia masih ketawa-ketiwi nyantai seperti biasanya, tapi tiba-tiba ia membuang pandangan ke luar jendela, selanjutnya ia menelungkupkan wajahnya ke bahu Helena, teman karibnya.
Bulan menangis…
“Kenapa sih kamu suka banget ngeledekin Bulan, kasihan tau,” tanya seorang teman di sampingku.
“Nggak tau, seneng aja, bukankah semua orang gitu, kita ketawa kan kalau lihat orang kepleset?” jawabku membandingkan.
“Ya, tapi kan kasihan,”

Aku diam, benar kasihan, tapi aku tetap membela diri untuk tindakanku ini, aku suka melakukannya, menghina dia kapan pun dan dimana pun, puas aku kalau sudah memojokkan dia, dan herannya dia tak pernah berubah, tetap terlihat kumuh dan pantas untuk aku pojokkan.

“Kamu itu suka sama Bulan,” seru seorang teman tiba-tiba saat aku asik mengantuk di gerbong.
“Hah?!” bengong sendiri aku gara-gara kata-katanya.
“Kamu selalu mengganggunya karena kamu ingin dapat perhatiannya kan?! Ingin dia menjadi apa yang kamu katakan,” lanjutnya.
Aku tidak menjawab, pura-pura kembali ngantuk.
Hanya berfikir, “Iya kah aku suka?!”
Mungkin dulu,
Lalu kenapa kau menyakitinya, mengejeknya sampai ia sering sekali menangis karena ulahmu,
Tiap orang punya cara sendiri untuk mencintai bukan,
Ahh aku mengiyakan perasaanku akhirnya. Meski aku tahu, ia jauh dari mimpiku, ia tidak akan aku dapat seberbuat baik apapun aku padanya, ia tak akan jatuh cinta padaku, makanya ini pilihanku.

Suara ting tong berbunyi pertanda kereta hendak sampai di stasiunnya, para penumpang bangkit menyiapkan barang bawaannya,
“Hei pembantu, tasku mana?” tanyaku sambil mendorong punggungnya. Beberapa orang di gerbong sempat ikut menoleh mendengar suaraku.
Dia mengambil tas di bagasi atas dan melemparnya padaku, “Makasih pembantuku...”
Ia mendekat ke arahku.
“Cukup Ren, aku akan menganggapmu tak ada,” suaranya parau.
Aku cuek saja dengan omongannya,

Tapi aku salah, menit demi menit berlalu, hari pun silih berganti, dia benar-benar pergi, ada tapi seolah tak melihatku, ada tapi seolah tak mendengarku, apa saja yang aku katakan menjadi buih, apa saja yang aku lakukan bak asap, membumbung ke langit dan hilang.
“Hei kumal, bajumu itu sama kayak penjual tahu yang lewat depan rumahku tau?!” teriakku kembali memulai mengejeknya.
Tapi, dia diam. Dia seakan tak mempedulikan ucapanku, ahh aku bicara sendiri.
Hari berganti terus, dia terlambat masuk kelas, sengaja ku julurkan kakiku saat dia lewat dan “Buuukkk” terjerembablah ia. Aku pikir dia akan berbalik dan memukulku seperti dulu, tapi dia bangkit dan duduk di kursinya, seolah tak terjadi apa-apa, ia bahkan tak menhiraukan beberapa teman yang tertawa.
Dia benar-benar tak menganggapku.
Kuliah selesai, aku langsung menarik lengannya dengan kuat, ia berusaha melepaskan tapi percuma, tenaganya yang lemah tak akan berhasil.
Aku menyeretnya menuju samping kelas, “Kamu kenapa sih?” teriakku sambil melepaskan cengkeramanku. Ia tak menjawab apa-apa dan pergi ngeloyor begitu saja, “Hei!” bentakku, “Berhenti!” aku mengejarnya.
“Nana tunggu!” suaranya memanggil seseorang yang baru saja lewat.
“Hei!” aku mengejarnya tapi ia segera berlalu, meninggalkanku di bawah terik sang surya, aku terbakar hingga menjadi abu dan hilang.
Ternyata ini hukumanku,
Tak dianggap ternyata jauh lebih menyakitkan dari pada dibenci. Tiga tahun lebih ku lalui dengan mengejeknya sampai habis, dan di tahun keempat ini, aku yang habis, ya aku justru yang habis.
Aku tak dianggap ada. Aku merasa seperti apa, ahh aku benar-benar hampa, ternyata seperti ini. Seperti ini menjadi uap, seperti ini menjadi abu, seperti ini hilang dari pandangannya. Aku terduduk diam tak mengerti. Ini hukumanku, iya kah?!

Puing,

06.06.17