Balas Budi,
“Pak, ada tamu,” suara istriku memecah lamunanku di petang
ini, ah menikmati secangkir kopi di teras belakang membuat aku sering merasa
menikmati sisa hari tuaku ini.
“Siapa Bu,?” tanyaku sebelum beranjak dari kursi santaiku.
“Pak Yusak,”jawab istriku sambil berjalan ke arah dapur.
“Yusak!” jawabku kaget, ada angin apa gerangan tiba-tiba dia datang setelah sekian lama tak muncul dan aku segera bangkit.
Yusak, dia bukan saudaraku, tapi keakraban kami lebih dari
sekedar saudara. Pertemanan kami bermula dulu, saat masih sama-sama muda,
bahkan waktu itu Yusak belum menikah dan aku baru memiliki seorang putra itu
pun masih kecil, sekarang aku sudah bercucu pun kami masih akrab. Dulu saat aku
masih bekerja di lapangan, aku sering keliling jalan naik motor, bahkan
melewati jalan hutan-hutan yang sepi, di hari hujan itu, aku terjatuh dari
motorku dan mengalami patah tulang, jalanan sepi itu aku menunggu orang yang
menolongku, tapi tidak ada dan saat itulah Yusak yang baru pulang dari pasar
dengan membawa mobil pick up nya ia menolongku, mengangkutku ke rumah sakit,
tidak sampai di situ saja, aku yang sudah tersungkur dengan luka menganga tentu
mengeluarkan banyak darah dan secara kebetulan Yusak bergolongan darah sama
denganku ia pun diperiksa dan mau mendonorkan darah untukku, oh Tuhan, baik
sekali dia, padahal apakah sudah kenal aku waktu itu, belum, nama saja dia tahu
dari KTP. Sejak saat itu kami akrab, kadang-kadang aku mampir ke rumahnya
membawa hasil bumi yang ku punya, kukenalkan juga dengan istri dan anak-anakku.
Yusak sangat rajin, usahanya berdagang sayuran semakin berkembang apalagi
setelah dia berkeluarga, sekarang dia sudah jadi bos, kami masih sangat dekat
dan akrab, masih banyak waktu untuk saling berkunjung. Namun, Ia lama tak
muncuk saat aku ke rumahnya pun sepi hanya pembantunya saja, saat ku telfon ia
bilang sedang dinas di luar kota, ahh sibuk sekali sepertinya. Semua itu
bermula setelah ia menjadi anggota legislatif.
“Apa Kabar Pak menteri?” sapaku langsung sambil memeluknya.
“Sama siapa?” lanjutku sambil menoleh ke luar rumah, tidak
tampak seorang pun atau bahkan mobilnya pun tak ada.
“Sendiri,” jawabnya lesu, ku perhatikan wajahnya, ia tak
seceria biasanya, tampak murung dan lesu, ia juga memakai baju yang sangat
sederhana dan sebuah tas ransel di punggungnya.
“Ada apa Yusak?” tanyaku setelah melihat penampilannya itu.
“Aku sedang terkena musibah Bang,” jawabnya pelan.
Aku diam menunggu cerita selanjutnya.
“Aku datang sendiri naik angkot,” ahh sepertinya cukup berat
masalahnya, aku mencoba menelaah dan bersabar untuk mendengarkan ceritanya.
“Boleh aku tinggal beberapa hari di sini Bang?” tanyanya
langsung.
“Memangnya kenapa?” ucapku balik bertanya.
“Istri dan anak-anakku sudah kuungsikan ke mertuaku, mereka
aman, tinggal aku,” jawabnya
Ada apa gerangan, aku jadi tambah bingung mendengar
ceritanya, tapi aku masih bertahan untuk terus mendengarkan.
“Aku terjerat kasus korupsi Bang,” dia tertunduk berucap
itu, dan aku tersentak. Kami sama-sama diam, hening.
“Silahkan diminum tehnya,” suara istriku memecah keheningan
kami. “Ibu dan anak-anak nggak ikut Pak?” tanya istriku ramah.
“Tidak Mbak, saya sendirian kok,”
“Oh ya, mari silahkan di minum dulu,”
“Iya Mbak terimakasih...”
Istriku masuk ke ruang belakang, meinggalkan dua laki-laki
yang kembali mematung.
“Maafkan aku Bang, aku datang mau ikut merepotkan Abang,
sebab aku tidak tahu harus kemana lagi, dua saudaraku yang sudah ku singgahi
menolakku begitu tahu aku ini buronan, mereka tidak mau dan takut ikut
terlibat, aku tidak tahu harrus kemana lagi, tapi aku harus lari Bang, aku
tidak mau dipenjara.” Ceritanya dengan wajah sangat memelas.
Aku bingung saat itu, Yusak adalah orang yang pernah
menolong nyawaku, aku hutang budi dengannya, harusnya ini saat yang tepat aku
bisa membalas kebaikannya, tapi bagaiman, dia buronan.
“Aku tanya istriku dulu,” aku masuk ke dalam dan berfikir.
“Aku sudah dengar semua Pak, terserah Bapak saja, tapi lebih
baik nasehati dia untuk menyerahkan diri, sejauh apapun dia berlari masalah tak
akan selesai, dia harus menghadapi kenyataan,” ucap istriku.
“Tapi aku harus menolongnya,” jawabku ragu.
“Pak, kalau Bapak terus menyembunyikan dia di sini, itu
artinya Bapak tidak menolongnya, bukankah kalau menyerahkan diri hukuman lebih
ringan?!”
Aku menghela nafas pelan, Ya, balas budi, membalas kebaikan,
ahh... kebaikan seperti apa yang bisa kubalaskan untuknya. Mengijinkan dia
tinggal di sini sampai suatu hari tertangkap dengan hukuman yang pasti lebih
besar, atau mengajaknya menyerahkan diri dan membawanya ke penjara.
Seperti apa balas budi itu.
Aku beranjak ke ruang tamu dan mendapati Yusak sendang melamun
dengan wajah sangat bingung.
Aku duduk sambil menghela nafas pelan.
“Baiklah kau boleh bermalam di sini, tapi tolong, jangan
lari dari masalah, kau harus menghadapinya, percayalah semua adil, kau terkena
musibah ini juga karena mungkin kau lalai, anggap saja ini ujian untuk
membersihkan semua dosa, kau harus bertaubat dengan menyerahkan diri,”
Yusak diam,
“Apa kau mau mengantarku Bang?” tanyanya ragu.
“Ya pasti, aku akan menemanimu.” Dia tersenyum dan
merangkulku. “Malam ini tidurlah di kamar tamu, besok aku akan mengantarmu.”
“Terima kasih Bang.” Aku tidak tahu benarkah balas budi yang
ku lakukan ini, mungkin berat bagi Yusak, tapi dengan menemaninya semoga bisa
menguatkannya, semoga menjadi balas budi terbaikku untuknya. Dan pasti, Tuhan
yang membalas semua kebaikan yang pernah ia lakukan.
Puing,
15.05.17