Jumat, 19 Mei 2017

Puisi


Akulah nuri kecil yang patah sayapnya, 

[ sebuah kalimat dari seorang sahabat, b0leh ku tulis tentangmu kawan ]

bagaimana mungkin seorang  memilih mawar kuncup yang telah patah dari rantingnya, 

jika ada pun, tak lebih dari pengasianan. . . 

`ia begitu sempurna, untuk sekedar ku tatap, dan ia menujuku, ia mencariku, tanpa tahu siapa aku, tanpa berfikir, ada poison di hatiku, aku tak sejernih embun yang kau impikan, aku tak seindah pelangi yang kau harapkan. 
Hanya apel mentah yg terjatuh dari pohonnya, berbaur dg lumpur, kotor, tak lengkap, pincang, tak sempurna.. 

`jika kau cari terindah dari hati perempuan, maka tak kau temukan padaku, aku bukan yang terindah.. 

[ hentikan tulisan ini, ada mata yang salah membacanya ] 

tidak teman, ini hanya kata yang ingin ku ukir di telapak tanganmu, ketika kau menggapaiku kala terjatuh. . . 
`aku lah puing itu, puing sisa k0baran api tadi pagi, 
`aku lah deras hujan, menghujam pertiwi dalam belati bebentuk air, 
`aku dan aku`
temanku, aku ingin kau di sini, memelukmu sembari menangis, membuncahkan segala lara ini. . . 
`akulah kumpulannya terbuang`
s0batku, 
kembali padaku, aku ingin memelukmu seperti dulu, . . . 
Aku merindumu Bulanku, sangat. .
_bermacam dari sang pesakitan ilusi. 

Puing
23.08.10

Balas Budi

Balas Budi,

“Pak, ada tamu,” suara istriku memecah lamunanku di petang ini, ah menikmati secangkir kopi di teras belakang membuat aku sering merasa menikmati sisa hari tuaku ini.
“Siapa Bu,?” tanyaku sebelum beranjak dari kursi santaiku.
“Pak Yusak,”jawab istriku sambil berjalan ke arah dapur.
“Yusak!” jawabku kaget, ada angin apa gerangan tiba-tiba dia datang setelah sekian lama tak muncul dan aku segera bangkit.
Yusak, dia bukan saudaraku, tapi keakraban kami lebih dari sekedar saudara. Pertemanan kami bermula dulu, saat masih sama-sama muda, bahkan waktu itu Yusak belum menikah dan aku baru memiliki seorang putra itu pun masih kecil, sekarang aku sudah bercucu pun kami masih akrab. Dulu saat aku masih bekerja di lapangan, aku sering keliling jalan naik motor, bahkan melewati jalan hutan-hutan yang sepi, di hari hujan itu, aku terjatuh dari motorku dan mengalami patah tulang, jalanan sepi itu aku menunggu orang yang menolongku, tapi tidak ada dan saat itulah Yusak yang baru pulang dari pasar dengan membawa mobil pick up nya ia menolongku, mengangkutku ke rumah sakit, tidak sampai di situ saja, aku yang sudah tersungkur dengan luka menganga tentu mengeluarkan banyak darah dan secara kebetulan Yusak bergolongan darah sama denganku ia pun diperiksa dan mau mendonorkan darah untukku, oh Tuhan, baik sekali dia, padahal apakah sudah kenal aku waktu itu, belum, nama saja dia tahu dari KTP. Sejak saat itu kami akrab, kadang-kadang aku mampir ke rumahnya membawa hasil bumi yang ku punya, kukenalkan juga dengan istri dan anak-anakku. Yusak sangat rajin, usahanya berdagang sayuran semakin berkembang apalagi setelah dia berkeluarga, sekarang dia sudah jadi bos, kami masih sangat dekat dan akrab, masih banyak waktu untuk saling berkunjung. Namun, Ia lama tak muncuk saat aku ke rumahnya pun sepi hanya pembantunya saja, saat ku telfon ia bilang sedang dinas di luar kota, ahh sibuk sekali sepertinya. Semua itu bermula setelah ia menjadi anggota legislatif.
“Apa Kabar Pak menteri?” sapaku langsung sambil memeluknya.
“Sama siapa?” lanjutku sambil menoleh ke luar rumah, tidak tampak seorang pun atau bahkan mobilnya pun tak ada.
“Sendiri,” jawabnya lesu, ku perhatikan wajahnya, ia tak seceria biasanya, tampak murung dan lesu, ia juga memakai baju yang sangat sederhana dan sebuah tas ransel di punggungnya.
“Ada apa Yusak?” tanyaku setelah melihat penampilannya itu.
“Aku sedang terkena musibah Bang,” jawabnya pelan.
Aku diam menunggu cerita selanjutnya.
“Aku datang sendiri naik angkot,” ahh sepertinya cukup berat masalahnya, aku mencoba menelaah dan bersabar untuk mendengarkan ceritanya.
“Boleh aku tinggal beberapa hari di sini Bang?” tanyanya langsung.
“Memangnya kenapa?” ucapku balik bertanya.
“Istri dan anak-anakku sudah kuungsikan ke mertuaku, mereka aman, tinggal aku,” jawabnya
Ada apa gerangan, aku jadi tambah bingung mendengar ceritanya, tapi aku masih bertahan untuk terus mendengarkan.
“Aku terjerat kasus korupsi Bang,” dia tertunduk berucap itu, dan aku tersentak. Kami sama-sama diam, hening.
“Silahkan diminum tehnya,” suara istriku memecah keheningan kami. “Ibu dan anak-anak nggak ikut Pak?” tanya istriku ramah.
“Tidak Mbak, saya sendirian kok,”
“Oh ya, mari silahkan di minum dulu,”
“Iya Mbak terimakasih...”
Istriku masuk ke ruang belakang, meinggalkan dua laki-laki yang kembali mematung.
“Maafkan aku Bang, aku datang mau ikut merepotkan Abang, sebab aku tidak tahu harus kemana lagi, dua saudaraku yang sudah ku singgahi menolakku begitu tahu aku ini buronan, mereka tidak mau dan takut ikut terlibat, aku tidak tahu harrus kemana lagi, tapi aku harus lari Bang, aku tidak mau dipenjara.” Ceritanya dengan wajah sangat memelas.
Aku bingung saat itu, Yusak adalah orang yang pernah menolong nyawaku, aku hutang budi dengannya, harusnya ini saat yang tepat aku bisa membalas kebaikannya, tapi bagaiman, dia buronan.
“Aku tanya istriku dulu,” aku masuk ke dalam dan berfikir.
“Aku sudah dengar semua Pak, terserah Bapak saja, tapi lebih baik nasehati dia untuk menyerahkan diri, sejauh apapun dia berlari masalah tak akan selesai, dia harus menghadapi kenyataan,” ucap istriku.
“Tapi aku harus menolongnya,” jawabku ragu.
“Pak, kalau Bapak terus menyembunyikan dia di sini, itu artinya Bapak tidak menolongnya, bukankah kalau menyerahkan diri hukuman lebih ringan?!”
Aku menghela nafas pelan, Ya, balas budi, membalas kebaikan, ahh... kebaikan seperti apa yang bisa kubalaskan untuknya. Mengijinkan dia tinggal di sini sampai suatu hari tertangkap dengan hukuman yang pasti lebih besar, atau mengajaknya menyerahkan diri dan membawanya ke penjara.
Seperti apa balas budi itu.
Aku beranjak ke ruang tamu dan mendapati Yusak sendang melamun dengan wajah sangat bingung.
Aku duduk sambil menghela nafas pelan.
“Baiklah kau boleh bermalam di sini, tapi tolong, jangan lari dari masalah, kau harus menghadapinya, percayalah semua adil, kau terkena musibah ini juga karena mungkin kau lalai, anggap saja ini ujian untuk membersihkan semua dosa, kau harus bertaubat dengan menyerahkan diri,”
Yusak diam,
“Apa kau mau mengantarku Bang?” tanyanya ragu.
“Ya pasti, aku akan menemanimu.” Dia tersenyum dan merangkulku. “Malam ini tidurlah di kamar tamu, besok aku akan mengantarmu.”
“Terima kasih Bang.” Aku tidak tahu benarkah balas budi yang ku lakukan ini, mungkin berat bagi Yusak, tapi dengan menemaninya semoga bisa menguatkannya, semoga menjadi balas budi terbaikku untuknya. Dan pasti, Tuhan yang membalas semua kebaikan yang pernah ia lakukan.

Puing,

15.05.17

Me Time, What's that?!

Mumpung ada waktu....”

Rutinitas menjadi kesibukan tiap orang, sama seperti aku. Sebenarnya aku tidak terlalu sibuk, anak juga baru satu, suami juga satu saja cukup, upst haha... pekerjaan juga satu, sebenarnya aku punya banyak waktu luang, di rumah ketika anak tidur dan suami tidur, di tempat kerja juga banyak waktu luang, terus soal me time...
Waktu luang tidak selalu menjadi me time, seringnya waktu luang aku gunakan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan lain yang lebih bermanfaat, nah loh jadi me time itu nggak bermanfaat, haha ya, me time ku mungkin terkesan tidak bermanfaat tapi aku suka melakukannya.
Tidak mesti waktunya kadang aku ambil di pagi buta sebelum pekerjaan dimulai dan keluarga masih tidur, atau ku ambil siang hari saat keluarga tidur siang dan urusan pekerjaan sudah selesai.
Aku memilih me time ku dengan cara duduk santai, di mana, di ruang tamu rumah yang berdinding kaca. Wow kaca tembus pandang dong, tidak, di tempat itu aku biasa bersantai sendirian tanpa hape atau buku. Dari tempatku bersantai aku bisa melihat lalu lalang di depan rumahku, tanpa mereka melihat aku, mereka yang lewat hanya akan melihat bayangan mereka sendiri, ya di situ asiknya, aku sering melihat orang-orang yang lewat itu bercermin sejenak, entah membetulkan rambutnya, topinya kerudungnya, atau bajunya, mereka juga seolah memperhatikan bentuk badan mereka ada yang ibu-ibu tambah gendut ada yang kakek-kakek tua baru sadar sudah keriput, hehe... tidak hanya alalu lalang, depan rumahku di seberang jalan adalah kebun dan sawah menghampar, jadi aku selalu melihat angin, hah angin kan nggak bisa dilihat, iya, tau... maksudku aku melihat daun-daun yang di tiup angin melambai-lambai. Kalau hujan, lebih asik lagi, aku bisa melihat titik-titik hujan yang menghiasi, ahh sejuk rasanya, dibalik kaca aku menatap semua itu, ya di balik kaca.
Bukan terpasung,
Aku memang menyukai hal itu, ketika aku menikmati banyak hal dan tak terlihat dari luar, rasanya lebih menyenangkan, tidak lama mungkin sepuluh sampai lima belas menit, kadang juga lebih cepat kalau anakku terbangun dari tidurnya, atau aku ingat kalau ngerebus air sudah mendidih.
Oke, sekian dan terimakasih,
Haha

:puing

09.05.2017

Haruskah Kupanggail Ibu?

“Haruskah ku panggil dia Ibu?”

“Haruskah ku panggil dia Ibu?” tanyaku pada bayanganku sendiri dalam cermin.
Dia sudah datang, setiap lebaran dia selalu datang untuk mengunjungiku, ahh kenapa harus setiap lebaran, bukan setiap hari. Marah, tentu saja aku marah, aku anaknya katanya, apa aku Cuma anaknya ketika lebaran saja, ahh menyebalkan.
Aku masih menatap bayanganku dalam cermin.
Andai sajah wajah ini tak mirip. Hah apa guna wajah mirip begini toh ia tak setiap hari aku dianggapnya anak, sedangkan anak-anak yang lain justru bersamanya tiap waktu, yang ia sebut, full time mom, huek...
Gigiku bergemelutuk sendiri menahan amarah. Ibu, ya dia ibuku. Dia ibuku yang meninggalkanku sejak aku kecil dan memilih memiliki keluarga baru, hidup bahagia bersama mereka, dan aku, kesepian di sini. Untung masih ada simbah
“Nur, sudah belum, ini ibumu sudah menunggu dari tadi,” suara simbah di balik pintu.
Ku buka pintu kamarku perlahan, simbah membelai kepalaku dengan lembut.
“Dia itu ibumu Nak,”
Aku hanya menghela nafas pelan.
“Bukankah semua yang ia lakukan meski menurutmu kurang tapi tak sebanding dengan pengorbanannya memperjuangkanmu hingga terlahir di dunia ini dengan sehat, menyusuimu hingga kau dua tahun, mengasuhmu meskipun sendirian, dia memang tak bersamamu tiap hari, tapi percayalah, dia mendoakanmu tiap waktu, dia surgamu, Nak.”
Aku masih terdiam meskipun buliran tirani sudah menggenang di muara mataku.
“Simbah juga seorang ibu,”
Aku memeluk simbah erat, “Baik mbah, aku mengerti,” dan aku pun bangkit menemuinya, menemui malaikat yang sering kusiakan, malaikat yang harusnya selalu ku sanjung tapi malah ku singkurkan, ahh ibu, maafkan aku...
Tentu, harus aku memanggilmu Ibu.


: puing ‘widya’ kanaya

02.05.17