Minggu, 25 Februari 2018

Ketika Ia Enggan Pulang

"Yakin nih nggak pulang lagi?" Tanyaku pada Galang yang masih duduk di balkon apartemenku sambil menikmati semilir angin malam yang syahdu. Aku membawakannya wine untuk gelas ketiganya karena merasa ia masih bertahan di kursi santainya itu.
"Sudah hampir pagi loh, nanti istrimu nyariin," ujarku lagi. Dia tersenyum dengan menyunggingkan separuh bibirnya saja. Membuang abu rokok yang masih menempel di rokoknya sejenak dan menghisapnya dalam-dalam.
"Di rumah aku tak bisa jadi diriku sendiri, sedangkan disini inilah aku apa adanya," ia menghembuskan asap rokoknya dengan membentuk bibirnya sehingga terciptalah kepulan asap berbentuk cincin dan melambung ke udara pudar oleh keadaan. Ah mungkin asap itu seperti aku. Samar, dan akan pudar oleh keadaan.
"Kenapa kau sangat mengerti aku dan istriku tidak?" Ia bertanya begitu. Ah itu adalah pertanyaannya yang ke seratus. Biasanya aku menjawab dengan kalimat karena aku mencintainya. Aku tak bohong aku memang mencintainya. Tapi kali ini aku diam sembari tersenyum. Aku memang mencintainya. Cinta. Ah sekali lagi aku memang mencintainya.
Jadi terserah ia mau hidup seperti apa. Asal dia senang iya kan? Ya iya lah kalau dia senang kan nempel aku terus.
"Kenapa tersenyum begitu?" Ia mendekatiku. Membelai rambutku dan mencium pipiku.
"Tempat ini benar-benar nyaman," ucapnya sambil memelukku dari belakang.
"Sudahlah kau pulang saja, masih ada besok, aku tidak mau istrimu mencariku dan mengumbar di medsos seperti yang banyak viral sekarang,"ungkapku sambil melepas pelukannya.
"Itu tidak mungkin..." jawabnya sambil mencolek hidungku.
Ia terdiam dan bangkit "Ya sudah aku pulang kau tak mau menghadiahiku sesuatu?" Tanyanya dengan mata nakal.
Aku mencium dan melumat bibirnya dengan lembut.
"Thanks ya Han... you are the only one i wish,"
"Hah istri dan anak-anakmu mau dikemanain?"
"Ya ditinggal di rumah lah...."jawabnya sambil tertawa.
Dan aku tahu. Aku hanyalah asap rokoknya yang ia suka namun akan lenyap. Aku tahu tapi cinta membutakanku. Aku juga menikmati jalan cinta ini. Biarlah kami sudah hina pada dosa.
Dia ku bantu memakai jasnya. Merapikan dasinya. Menyisir rambutnya dan memakaikan sepatunya.
"Istriku tak pernah melakukan ini, tapi kau selalu mau, aku menjadi raja saat bersamamu."
Aku tersenyum, "Apa perlu ku ajari istrimu begini?"
"Kalau kau mau?"
Sekali lagi aku tersenyum getir.
Tapi ia menarik daguku dan menciumku lagi. Ah aku jadi lupa senyum getirku ini. Dia suka begitu. Suka jahil juga dan aku selalu ketagihan oleh kejahilannya itu.
"Memangnya kau tak pernah begini pada istrimu?"
"Hah.. Dia itu banyak aturan, tak bebas kayak kamu." Ia mencium punggung tanganku. Ah kalau begini terus dia pasti tak pulang-pulang.
"Bahkan di sini tak ada aturan untuk berpakaian," ia tertawa mengingat saat kami seenaknya tanpa busana.
"Di rumah mana bisa," aku tertawa. Ia kembali memelukku.
Sepertinya ia benar-benar enggan untuk pulang. Ia malah kini asik memainkan apa saja yang ia suka. "Aku milikmu...."
Dan malam pun menjelma menjadi pagi.
Dugdugdug
Eh salah maksudku
DAAAAR DAR DARRRR
Suara pintu apartemenku yang digedor paksa.
Aku mengerjapkan mataku. Ah benar pagi telah datang.
"Maaaasssss," aku segera berpakaian dan bergegas keluar membukakan pintu.
Seorang wanita cantik dengan rambut pendek seleher muncul di depan pintu ia masih bersweater tebal. Wajahnya tetap cantik meskipun semalaman ia bekerja. Hanya matanya yang tampak hampir terpejam karena menahan kantuk. Untung saja masih bisa menyetir mobilnya sendiri. Ia wanita yang sangat mandiri.
"Aku ngantuk banget...." ucapnya yang sudah aku hafal dari dulu. Ia menubrukku langsung dan aku memapahnya ke kamar utama kami.
"Temanmu nginap di sini lagi ya Mas?" Tanyanya saat aku baringkan dia di kasur.
"Iya, masih tidur kayaknya di kamar tamu," jawabku sambil membantunya melepas sweater hangatnya.
"Kenapa hobinya bertengkar dengan istrinya, tidak seperti kita ya?" Aku tersenyum dan mencium keningnya. Ia tertidur.
Aku membuatkan sarapan saat dua cintaku sedang tertidur di kamarnya masing-masing. Dan secangkir teh dengan dua sendok gula. Bukankah ini manis sekali?

#ruangmenulis
#tantangansenin
#selingkuh

Puing

24.02.18

Minggu, 18 Februari 2018

Langitku

Apa kabar langit?
Apa kau masih secerah dulu? Atau kini kau mendung karena kehilanganku. Ah bodohnya. Itu tidak mungkin, iya kan? Tidak mungkin kau jadi mendung hanya karena aku. Apalah aku ini. Hanya puing-puing sisa reruntuhan tembok Berlin.
Langit tampak menengadah menatap langit biru. Deburan ombak dan angin dermaga menerpanya. Jangan bohongi aku dengan berlagak sok setegar karang. Aku tahu kau rapuh.
"Kenapa?" bisiknya dan ia menunduk. Tuhkan aku tahu kau tak setegar karang. Aku tahu kau sangat rapuh. Bahkan kau lebih rapuh dari daun kering yang tertiup angin. Tidak hanya mudah patah kau itu mudah remuk.
Aku masih menemaninya di situ. Membiarkan ia berdiri mematung menyesali nasib. Mau apa lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Sekeras apapun kau berteriak cintamu telah pergi. Dan kau terlambat Langitku yang gagah. Kau telah terlambat untuk selamanya. Salahmu sendiri. Salahmu sendiri ku ulangi.
"Harusnya aku memperlakukanmu dengan lebih baik," bisiknya dan kini ia duduk di lantai dermaga yang mulai panas oleh garangnya sinar matahari siang ini.
"Iya, harusnya," aku tersenyum puas. Hah tapi apa gunanya sesalmu itu.
"Harusnya aku selalu ada untukmu, mendengarkanmu, bahkan aku tak tahu secepat ini kau pergi," dia tertunduk lagi. Hei dasar bodoh. Kau pikir dengan menyesal begitu yang kau sebut cintamu itu akan kembali hah? Lagi pula kau pikir aku tak hafal sifatmu. Kau akan lupa dan cari pacar lagi iya kan? Kau pikir aku bodoh.
"Aku bodoh Rin aku yang bodoh," dia berucap sambil menyebut namaku. Aku tertawa mendengarnya membodoh-bodohkan diri sendiri. Kau memang bodoh Langitku sayang. Upst kenapa aku menyebutnya sayang. Ah biar saja. Toh dia juga tak akan mendengarku.
"Aku ikut kamu saja Rin," ucapnya lagi. Aku masih saja menertawakannya.
"Tidak ada gunanya lagi aku di sini, aku ikut kamu, ajak aku Rin," kali ini aku menoleh ke arahnya yang sedari tadi bicara sendiri macam laki-laki yang ditinggal mati isterinya saja.
"Kalau kamu tak mau mengajakku aku yang akan menyusulmu," ia membuka sebuah botol di tangannya. Aku terbelalak. Ada gambar tengkorak di botol itu.
Hei... jangan Langit ku mohon jangan. Jangan lakukan itu bodoh. Bodoh Langit aku mohon jangan. Jangan lakukan itu. Tolong ah siapa yang akan mendengarku. Langit please jangan. Jangan mati. Jangan. Kita tidak akan bersatu hanya karena kematian. Takdir kita memang tidak bersama. Jangan Langit. Jangan.
Tapi ia telah meneguknya. Tubuhnya mengerang kesakitan. Otot-otot dilehernya menegang kuat dengan warna biru yang mulai menyelimuti kulitnya. Aku yakin itu sakit sekali. Hingga ia memuntahkan darah dan mengalir pula darah dari hidung dan telinganya.
Langitku...
Sosok hitam muncul di sampingnya. Membangkitkan ruhnya dengan sekali seret dengan sangat kejam. Sosok itu menatapku. "Ajak aku!" Teriakku tapi ia hanya menyeret ruh Langit yang masih kesakitan. Meninggalkan seonggok tubuh yang sudah tak bernyawa.
Aku tertunduk. Hah bodohnya dia. Aku sudah tak bisa lagi menikmati wajahnya. Menemaninya di dermaga ini mengenangku. Padahal aku telah menukar segalanya demi diberi kesempatan bisa melihatnya. Tapi apa yang aku lihat. Kematiannya. Mengapa ini begitu menyakitkan. Apa karena pikiran kita yang picik pada takdir.
Langitku.. kali ini aku benar-benar mengucapkan selamat tinggal. Karena kehidupan maupun kematian sama-sama tak bisa menyatukan kita.

Puing
19.02.2018
#ruangmenulis