Minggu, 18 Februari 2018

Langitku

Apa kabar langit?
Apa kau masih secerah dulu? Atau kini kau mendung karena kehilanganku. Ah bodohnya. Itu tidak mungkin, iya kan? Tidak mungkin kau jadi mendung hanya karena aku. Apalah aku ini. Hanya puing-puing sisa reruntuhan tembok Berlin.
Langit tampak menengadah menatap langit biru. Deburan ombak dan angin dermaga menerpanya. Jangan bohongi aku dengan berlagak sok setegar karang. Aku tahu kau rapuh.
"Kenapa?" bisiknya dan ia menunduk. Tuhkan aku tahu kau tak setegar karang. Aku tahu kau sangat rapuh. Bahkan kau lebih rapuh dari daun kering yang tertiup angin. Tidak hanya mudah patah kau itu mudah remuk.
Aku masih menemaninya di situ. Membiarkan ia berdiri mematung menyesali nasib. Mau apa lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Sekeras apapun kau berteriak cintamu telah pergi. Dan kau terlambat Langitku yang gagah. Kau telah terlambat untuk selamanya. Salahmu sendiri. Salahmu sendiri ku ulangi.
"Harusnya aku memperlakukanmu dengan lebih baik," bisiknya dan kini ia duduk di lantai dermaga yang mulai panas oleh garangnya sinar matahari siang ini.
"Iya, harusnya," aku tersenyum puas. Hah tapi apa gunanya sesalmu itu.
"Harusnya aku selalu ada untukmu, mendengarkanmu, bahkan aku tak tahu secepat ini kau pergi," dia tertunduk lagi. Hei dasar bodoh. Kau pikir dengan menyesal begitu yang kau sebut cintamu itu akan kembali hah? Lagi pula kau pikir aku tak hafal sifatmu. Kau akan lupa dan cari pacar lagi iya kan? Kau pikir aku bodoh.
"Aku bodoh Rin aku yang bodoh," dia berucap sambil menyebut namaku. Aku tertawa mendengarnya membodoh-bodohkan diri sendiri. Kau memang bodoh Langitku sayang. Upst kenapa aku menyebutnya sayang. Ah biar saja. Toh dia juga tak akan mendengarku.
"Aku ikut kamu saja Rin," ucapnya lagi. Aku masih saja menertawakannya.
"Tidak ada gunanya lagi aku di sini, aku ikut kamu, ajak aku Rin," kali ini aku menoleh ke arahnya yang sedari tadi bicara sendiri macam laki-laki yang ditinggal mati isterinya saja.
"Kalau kamu tak mau mengajakku aku yang akan menyusulmu," ia membuka sebuah botol di tangannya. Aku terbelalak. Ada gambar tengkorak di botol itu.
Hei... jangan Langit ku mohon jangan. Jangan lakukan itu bodoh. Bodoh Langit aku mohon jangan. Jangan lakukan itu. Tolong ah siapa yang akan mendengarku. Langit please jangan. Jangan mati. Jangan. Kita tidak akan bersatu hanya karena kematian. Takdir kita memang tidak bersama. Jangan Langit. Jangan.
Tapi ia telah meneguknya. Tubuhnya mengerang kesakitan. Otot-otot dilehernya menegang kuat dengan warna biru yang mulai menyelimuti kulitnya. Aku yakin itu sakit sekali. Hingga ia memuntahkan darah dan mengalir pula darah dari hidung dan telinganya.
Langitku...
Sosok hitam muncul di sampingnya. Membangkitkan ruhnya dengan sekali seret dengan sangat kejam. Sosok itu menatapku. "Ajak aku!" Teriakku tapi ia hanya menyeret ruh Langit yang masih kesakitan. Meninggalkan seonggok tubuh yang sudah tak bernyawa.
Aku tertunduk. Hah bodohnya dia. Aku sudah tak bisa lagi menikmati wajahnya. Menemaninya di dermaga ini mengenangku. Padahal aku telah menukar segalanya demi diberi kesempatan bisa melihatnya. Tapi apa yang aku lihat. Kematiannya. Mengapa ini begitu menyakitkan. Apa karena pikiran kita yang picik pada takdir.
Langitku.. kali ini aku benar-benar mengucapkan selamat tinggal. Karena kehidupan maupun kematian sama-sama tak bisa menyatukan kita.

Puing
19.02.2018
#ruangmenulis

6 komentar: